Tulisan 2
Koperasi Indonesia:Operasionalisasi Ekonomi
Rakyat dan Metodologi Penelitian
REVIEW
:
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI INTI DAN KONSEP BISNIS KOPERASI:
Digali dari realitas masyarakat Indonesia
Oleh
:
Aji Dedi Mulawarman2
Berisi :
KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat
ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih
luas perlu perencanaan tujuan
pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak
disekitar
pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar
terpusat
misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur
sosial dan
budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial
dan
budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak
harus dikerangkakan
pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam
ketundukannya
pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa
ilmu
ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada
pengalaman
pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi
masalahmasalah masyarakat Indonesia dewasa ini.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme
berkenaan
pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan
privat
dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini
terjadi karena menurut
Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga
bersifat makro,
obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi
para pemilik modal,
birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir,
dan lainnya.
Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak
memberdayakan
eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut
diperlukan
intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating
institutions)
di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti
publik, sehingga
mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.
Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi
menjadi neoliberalisme
dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya
tidak
bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di
muka bahwa
neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Faham
liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan
cenderung
menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik
sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga
sosial-ekonomi termasuk koperasi)
cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola
bebas dari substansi
intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere,
seperti Koperasi, malah
menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara
tidak sadar
mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan
atau
demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi
dan
pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi
dan
konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga
masyarakat,
sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota
masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi
seperti logika modernitas
dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan
memiliki
diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat.
Bentuk
koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif
oleh negara.
Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25
tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang
atau badan
hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum
definisi
tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan
ekonomi
rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah
aktivitasnya dilandasi
dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata
kunci,
ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi
rakyat
memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat
Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional
dengan cara reformasi
sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An
effective development state”
adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas
dari
kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari
godaan
untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan
yang
dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat
banyak, pro
keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme,
menjunjung tinggi
integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap
emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan
negara sebagai suatu “soft
state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani
melaksanakan tindakan
hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses
transformasi
sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang
kita inginkan
ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki
kedaulatan”.
3. CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti
(core competencies)
sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu
organisasi
memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk
pelanggan. Organisasi
mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan
kompetensi yang
membedakan (differentiating competencies). Kompetensi- kompetensi
yang perlu adalah
semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang
membedakan
adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok
organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi
ilmiah).
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi
perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk
pengembangan
dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang
baru. Dengan
begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer
puncak suatu
organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta
kerja sama
pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990),
kemampuan kompetitif
perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang
tangguh di
era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential
advantage. Berikut penjelasannya: …are all converging on
similar and formidable standards for product cost and quality – minimum
hurdles for continued competition, but less and less important as sources of
differential advantage. Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif
dikendalikan pada kemampuan untuk mengembangkan core competencies.
Kompetensi inti di sini lebih mengedepankan : Management ability to
consolidate corporatewide technologies and production skills into competencies
that empower individual business to adapt quickly to changing opportunities.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama,
dalam jangka
pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai
kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk
konsolidasi
dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan
kemampuan dan
ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap
organisasi
melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage,
karena hal itu hanya
bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi
bisnis agar dapat
menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang
selalu berubah,
diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta
kemampuan
“collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core
competence agar
dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing
streams
of technology” dan “decisively in
services”.
Metodologi Penelitian : Beyond Srukturalism
Pengembangan bisnis koperasi dalam penelitian ini
menggunakan metodologi Beyond
Strukturalism, diadaptasi dari metodologi
Hiperstrukturalisme yang dikembangkan
Mulawarman (2006). Beyond Strukturalism memiliki dua tahapan,
pertama,
pengembangan metodologi, dan kedua, penerapannya berbentuk metode
penelitian.
Suriasumantri (1985, 328) menjelaskan bahwa metodologi penelitian adalah
“pengetahuan tentang metode” yang dipergunakan dalam penelitian.
Berdasarkan hal
tersebut pengembangan metodologi dalam penelitian ini merupakan proses
pendefinisian,
penjelasan, dan pembuatan kerangka umum dari metode yang akan digunakan.
Salah satu yang harus ditentukan pada metodologi
penelitian adalah metode dan
tujuan penelitian (Suriasumantri 1985, 328). Setelah dilakukan pengembangan
metodologi penelitian, tahap kedua adalah menerjemahkan kerangka umum
metode
dalam prosedur penelitian secara eksplisit dan sistematis. Metode sendiri
menurut Senn
dalam Suriasumantri (1985, 119) merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu
yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dengan demikian yang dilakukan
di sini
adalah penyusunan
prosedur metodologi yang telah dikembangkan pada tahap pertama.
Tahap Pertama: Rumusan Umum Metodologi
Beyond Structuralism dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme9 dan
postrukturalisme10. Strukturalisme digunakan, pertama, untuk mendalami
interkoneksi
unsur-unsur pembentuk realitas; kedua, mencari struktur di balik
unsur-unsur maupun di
balik realitas empiris pembentuk unsur; ketiga, menemukan binary
opposition unsurunsur
realitas; dan keempat, menggali substansi unsur-unsur realitas secara
sinkronis di
lapangan pada rentang waktu yang sama (bukan diakronis/perkembangan antar
waktu).
Postrukturalisme digunakan untuk melampaui strukturalisme
dalam melihat
realitas tersembunyi di luar unsur dan realitas, mulai dari tulisan (writing),
jejak (trace),
perbedaan sekaligus penundaan tanda (differance), serta hasil
penundaan (arche-writing).
Postrukturalisme juga melakukan proses penggalian unsur-unsur realitas
melalui konteks
integasi sinkronis-diakronis. Integrasi yang dimaksud adalah penggalian
antropologis
tidak hanya berdasarkan rentang waktu yang sama (sinkronis) tetapi juga
perkembangan
antar waktu (diakronis). Teknisnya, penggalian integrasi empiris dilakukan
saling silang
makna aktivitas bisnis koperasi saat ini (sinkronis) maupun masa lampau
seperti ide
koperasi dari Hatta (diakronis).
Tahap Kedua: Bentuk Metode Sebagai
Turunan Metodologi
Metode penelitian menggunakan “ekstensi” Strukturalisme
dan Postrukturalisme.
Ekstensi merupakan perluasan keduanya agar dapat digunakan secara empiris
di
lapangan. Ekstensi empiris menggunakan metodologi Constructivist
Structuralism
(Wainwright 2000) versi Bourdieu (1977; 1989).
Constructivist Structuralism (selanjutnya disingkat CS) selalu menginginkan titik
temu teori dan praktik yang mungkin (Mahar et al. 2005) melibatkan field
(ruang sosial)
dan habitus (perilaku individu tanpa sadar) (Bourdieu 1977). Unsur
penting CS bahwa
tiap individu dalam realitas (practice) menjalankan produk sosial (field)
sekaligus
dipengaruhi kerangka pikir (habitus) dan membentuk perilaku individu
(Bourdieu dan
Wacquant, 1992).
9 Strukturalisme merupakan usaha menemukan struktur umum yang terdapat
dalam aktivitas manusia
(Ritzer 2003). Struktur sebagai “sebuah unit yang tersusun dari beberapa
elemen dan selalu memiliki
hubungan dalam suatu ‘aktivitas’ yang tergambar. Unit tidak bisa dipecah
dalam elemen-elemen tunggal.”
(Spivak 1974; dalam Ritzer 2003, 51).
10 Postrukturalisme merupakan antitesis strukturalisme. Derrida menjelaskan
bahwa selalu ada suatu
realitas bersembunyi di belakang tanda; selalu ada sesuatu tersembunyi di
balik kehadiran sesuatu. Ia adalah realitas dan hubungan dalam realitas (Ritzer
2003, 204).
Menurut Bourdieu
setiap individu dalam realitas (practice) tidak semata-mata
menjalankan produk sosial tetapi juga dipengaruhi kerangka pikir dan
menterjemah
dalam perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Habitus dapat
dikatakan
sebagai “blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam
Wainwright 2000, 10).
Artinya, habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus merupakan
hasil pembelajaran
lewat pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti
luas.
Pembelajaran terjadi secara halus (disebut doxa oleh Bourdieu),
tidak disadari dan tampil
sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan
terberi alam.
Proses rekonstruksi bisnis koperasi melalui “ekstensi” Constructivist
Structuralism dilakukan melalui habitus,
field, capital dan practice. Artinya, fase ini
merupakan proses empiris untuk membuktikan bahwa sebenarnya terdapat
nilai-nilai
yang dapat dijadikan source koperasi sesuai nilai mereka sendiri (habitus)
secara
material-batin-spiritual.
Proses penelitian dilakukan, pertama, penggalian data
tertulis baik akademis
maupun kegiatan perkoperasian. Kedua, pengamatan, wawancara dan pendalaman
makna
dan simbol dari informan yang melakukan aktivitas bisnis koperasinya.
Informan
penelitian yaitu, pertama, Pak Sulaiman, salah satu reporter PIP; kedua,
Pak Naryo,
pengurus Dekopinda salah satu kota di Jawa Timur; Pak Aris, pengurus
koperasi primer
di Kediri; keempat, Pak Rahmat pengurus BMT di salah satu kota Jawa Tengah;
kelima,
Pak Budiman manajer salah satu koperasi serba usaha di Jawa Timur.
|
Nama / NPM :
Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas / Tahun :
2EB09 / 2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar