Tulisan 1
Abstrak , pendahuluan , Permasalahan , Tujuan
Penelitian , Struktur Isi Artikel
REVIEW
:
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI INTI DAN KONSEP BISNIS KOPERASI:
Digali dari realitas masyarakat Indonesia
Oleh
:
Aji Dedi Mulawarman2
Berisi :
Abstrak
Penelitian ini bertujuan melakukan pengembangan
kompetensi inti dan konsep bisnis
koperasi sesuai realitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia berbasis
ekonomi
rakyat.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi
kualitatif, yaitu Beyond
Structuralism. Beyond Structuralism mensinergikan antropologi strukturalis sinkronis
(kontekstual) dan postrukturalis diakronis (masa lalu). Metodologi
dijalankan dengan
metode Constructivist Structuralism-nya Pierre Bourdieu untuk
mengetahui secara
empiris (habitus, capital, field dan practice) aktivitas bisnis
koperasi di Indonesia.
Tahap pertama, teoritisasi antropologis melalui sinergi
antropologi sinkronis (realitas
bisnis koperasi kontekstual) dan antropologi diakronis (realitas bisnis
koperasi fase
awal). Tahap kedua, melakukan sinergi keduanya untuk menemukan benang merah
konsep kemandirian berbisnis koperasi secara empiris di lapangan
Teoritisasi
diperlukan untuk merumuskan Konsep Kemandirian Koperasi.
Hasilnya, konsep kemandirian, kompetensi inti
kekeluargaan dan sinergi produktifintermediasi - retail merupakan substansi
pengembangan koperasi sesuai realitas
masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak
tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan
kebijakan,
regulasi, supporting movement, dan strategic positioning berkenaan
menumbuhkan
kembali konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi
produktifintermediasi-retail yang komprehensif.
Kata kunci: Koperasi ala Indonesia,
kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan,
ekonomi rakyat, sinergi produktif-intermediasi-retail.
1 Dipresentasikan dalam Diskusi Panel Kajian Koperasi: Peluang dan Prospek
Masa Depan. Kementrian
Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Universitas Negeri Malang. 10
Desember 2007.
2 Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya.
Direktur Lembaga
Riset Keuangan Syari’ah Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
Pendahuluan
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling
pengaruh dua arus utama, yaitu
teknologi informasi dan globalisasi3,4. Teknologi informasi secara langsung
maupun tidak
langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi,
perjalanan
ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru
berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan
ekonomi
inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism
merupakan
puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.
Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hapir seluruh
sistem perekonomian
Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk
kepatuhan terhadap
mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi.
Neoliberalisme
juga dilakukan melalui deregulasi dan liberalisasi/privatisasi kelembagaan.
Keduanya
berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran
global, lintas
batas negara-negara5.
Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi
melalui amandemen UUD
1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi
yang
dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan
5)
dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran di
belakang ayat
baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme.
Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945
adalah hilangnya
kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau
demokrasi
3 Pembagian dua arus utama di sini hanya untuk memudahkan penjelasan saja.
Keduanya dapat berdiri sendiri, saling memengaruhi, atau salah satu memengaruhi
lainnya, sesuatu yang mungkin benar semuanya.
4 Arus teknologi informasi melaju bak Juggernaut (istilah Anthony
Giddens dalam melihat perkembangan yang cepat seperti truk yang melaju kencang
tak terkendali) sejak proyek Arpanet menemukan bagaimana melakukan pertukaran
pesan dan informasi melalui komputer. Gerakan ini tak pelak berdampak di hampir
seluruh sisi peradaban. Mulai pola hidup, dunia bermain anak, hubungan sosial-politik-ekonomi-budaya,
ilmu pengetahuan, teknologi, sistem informasi publik, bahkan sistem pendidikan
kita tidak ketinggalan.
Tidak ada lagi sisi peradaban yang tak terpola dengan ”buah” teknologi
informasi. Buah dari teknologi informasi seperti komputer, internet, alat
komunikasi dan lainnya.
5 Deregulasi misalnya lewat UU Migas, UU Listrik, Revisi UU Perpajakan, UU
Penanaman Modal, UU Pendidikan, dan lainnya. Liberalisasi misalnya terhadap
BUMN, Perguruan Tinggi dan sistem pendidikan lain, pangan, retail, sampai “everything
they want”.
ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945.
Hilangnya
kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu
diselenggarakan
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi
nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki
kontradiksi
sekaligus bernuansa liberalisme.
Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan
kenyataan sejarah seperti
itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning”
sebagai wadah
anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta
masyarakat,
bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota,
atau
malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai
impian the
founding fathers, menjadi sokoguru
perekonomian Indonesia?
Apakah jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah
berkumpulnya
koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi Indonesia6
(Dekopin 2006)? Atau dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri
Negara Koperasi dan UKM berkenaan dengan realisasi 70.000 Koperasi
Berkualitas
tahun 2009?
Banyak sudah program-program prestisius pengembangan
koperasi. Koperasi
juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”,
diupayakan
pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari
akademis
(penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi),
pemberdayaan (akses
pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi
dan
perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di
pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan
lembaga-lembaga
profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan
perilaku
usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif
(program
6 Pencanangan program aksi Dekopin terdiri dari program dukungan ketahanan
pangan nasional (pengembangan pupuk organik, pemasyarakatan pupuk majemuk dan
pupuk organik, pengembangan tanaman kedelai), program bio energi (pengembangna
pembibitan dan penanaman jarak pagar, pengembangan industri bio energi),
program perumahan (pengembangan perumahan koperasi sehat sederhana), program
keuangan mikro dan koperasi (pengembangan jaringan KSP/USP Swamitra Nusa
Madani), program e-commerce Dekopin. nasional Jaring Pengaman Nasional,
pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga
Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional).
Permasalahan
Tetapi ternyata, seluruh ”treatment” tersebut sebenarnya tidak
menyelesaikan
beberapa masalah mendasar koperasi. Pertama, seperti diungkapkan Soetrisno
(2002)
bahwa ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan tiga pola
penitipan
kepada program, yaitu pembangunan sektoral seperti koperasi pertanian,
koperasi desa,
KUD; (2) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan
koperasi
fungsional lainnya; serta (3) perusahaan negara maupun swasta berbentuk
koperasi
karyawan. Tiga pola tersebut menurut beliau berakibat prakarsa mayarakat
kurang
berkembang, kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana mestinya.
Masalah kedua, koperasi, lanjut Soetrisno (2002) juga
dikembangkan untuk
mendukung program pemerintah berbasis sektor primer dan distrubusi yang
memberikan
lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia7. Ketika program tersebut
gagal, maka
koperasi harus memikul beban kegagalan program. Sementara koperasi yang
berswadaya
praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk peneliti dan
media massa.
Dalam pandangan pengamat internasional (Sharma 1992), Indonesia mengikuti
lazimnya
pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti
disektor pertanian.
Ketiga, masalah mendasar koperasi berkenaan prinsip dasar
ekonomi. Hatta
(1947, 56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi, memiliki tiga rantai utama,
yaitu
perniagaan mengumpulkan, perantaraan dan membagikan8. Ketika sistem ekonomi
hanya
berputar pada kepentingan perdagangan dan menegasikan kepentingan
perniagaan
pengumpulan maupun membagikan, maka yang terjadi adalah penumpukan kekayaan
pada titik perniagaan perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang
dominan.
Dampaknya adalah reduksi kepentingan produsen, konsumen, bahkan alam.
Bentuk
7 Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor
pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain
pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk
swasembada beras seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam
politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi
melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah
bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola
pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain
sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
8 Perniagaan mengumpulkan berada dalam domain ekonomi produksi, perniagaan
perantaraan berada dalam domain perdagangan antara perusahaan besar, sedangkan
perniagaan membagikan adalah pertemuan antara pedagang dan pembeli. Ekonomi
versi Hatta tersebut, kita sebut saja Ekonomi Natural, sebenarnya mengingatkan
kita bahwa ekonomi jangan hanya dijalankan dengan menekankan mekanisme
perdagangan (intermediasi), dan menganaktirikan produksi (seperti bertani,
pertambangan, berkebun, kerajinan, dan lainnya) serta retail (berdagang
eceran).
Ekonomi Natural dengan demikian merupakan ekonomi produktif, intermediasi,
sekaligus pertukaran untuk keseimbangan individu, masyarakat, alam dan
akuntabilitas
kepada Allah SWT.
Keempat, data perkoperasian Indonesia sampai tahun 2006,
dijelaskan Jauhari
(2006) didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi karyawan,
koperasi
pegawai dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi tertentu baik
pemerintah
maupun swasta. Koperasi seperti itu jelas membatasi keanggotaan dan
memiliki sifat
stelsel pasif. Biasanya koperasi fungsional merupakan bentuk
ekonomi intermediasi
untuk memenuhi kebutuhan anggota, seperti swalayan, klinik, praktik dokter
bersama,
dan lain-lain. Koperasi fungsional seperti ini juga memiliki sifat
subordinasi. Misal
koperasi karyawan PLN dan AKLI, tujuannya memenuhi kebutuhan penyediaan
bahanbahan
produksi PLN. Bahkan menurut Jauhari (2006) bentuk koperasi fungsional
sangat
mungkin bertentangan dengan tiga prinsip ICA. Prinsip Pertama, yaitu
keanggotaan
sukarela dan terbuka. Kedua, Prinsip Kedua, yaitu kontrol anggota yang
demokratis.
Ketiga, Prinsip Keempat, yaitu otonomi dan independen.
Kelima, dari sudut bisnis, keempat masalah koperasi di
atas berdampak pada
hilangnya sense untuk melakukan identifikasi apa yang disebut
Prahalad dan Hamel
(1990) sebagai kompetensi inti (core competencies). Bisnis koperasi
selama ini tidak
dapat mengidentifikasi keunikan dirinya. Koperasi – akibat kemanjaan dan
intervensi –
hanya dapat melakukan identifikasi core product. Padahal bila
dilihat dari konsep bisnis,
core competencies merupakan
"jantung" organisasi atau perusahaan, sedangkan produk
merupakan implementasi dari core competencies tersebut untuk
menghasilkan nilai
tambah organisasi bisnis. Core competencies perlu didesain melalui
kejelasan visi dan
misi organisasi. Sehingga konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis,
produk sampai sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies.
Berdasarkan beberapa masalah di atas penelitian ini
mencoba untuk menjawab
pertanyaan, apakah aktivitas bisnis koperasi memiliki kreasi
pemberdayaannya sendiri,
otonom-independen, sesuai mekanisme naturalitas ekonominya, dan memiliki
core
competence-nya sendiri? Penelitian ini akan membahas bagaimana
mengembangkan
koperasi yang sebenarnya dari realitas masyarakat Indonesia. Pengembangan
koperasi di
sini tidak menolak proyek-proyek prestisius untuk kemajuan koperasi.
Idealisme koperasi
seperti itu harus tetap dikedepankan sebagai salah satu pemicu semangat
agar koperasi
tetap memiliki ruh perjuangan ekonomi rakyat. Tetapi perlu diingat,
koperasi harus tetap
sesuai jati dirinya sendiri. Seperti ungkapan mayoritas anggota International
Cooperation
Association (ICA) bahwa koperasi akan
menjadi yang terbaik bila mereka
menjadi dirinya sendiri.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, pertama, menggali
konsep-konsep genuine
berekonomi dari realitas masyarakat Indonesia; kedua, menempatkan konsep genuine
berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala
Indonesia; ketiga,
menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat Indonesia memang
memiliki
keunikan tersendiri memahami koperasi; keempat, memberikan masukan
konstruktif bagi
pengambil kebijakan perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.
Struktur Isi Artikel
Artikel disusun dalam 6 bagian utama. Bagian pertama,
pendahuluan, terutama
menjelaskan tentang latar belakang, masalah, tujuan penelitian dan struktur
isi artikel.
Bagian kedua dan ketiga merupakan penjelasan teori yang digunakan. Bagian
kedua
menjelaskan mengenai koperasi sebagai operasionalisasi ekonomi rakyat.
Bagian ketiga
menjelaskan mengenai konsep core competencies bisnis. Bagian keempat
menjelaskan
mengenai metodologi penelitian dan metode yang digunakan untuk melakukan
pengembangan konsep bisnis koperasi. Bagian kelima adalah pembahasan temuan
penelitian. Bagian
keenam catatan akhir dan agenda ke depan.
2. KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat
ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih
luas perlu perencanaan tujuan
pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak
disekitar
pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar
terpusat
misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur
sosial dan
budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial
dan
budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak
harus dikerangkakan
pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam
ketundukannya
pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa
ilmu
ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada
pengalaman
pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi
masalahmasalah masyarakat Indonesia dewasa ini.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme
berkenaan
pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan
privat
dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini
terjadi karena menurut
Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga
bersifat makro,
obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi
para pemilik modal,
birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir,
dan lainnya.
Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak
memberdayakan
eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut
diperlukan
intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating
institutions)
di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti
publik, sehingga
mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.
Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi
menjadi neoliberalisme
dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya
tidak
bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di
muka bahwa
neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Faham
liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan
cenderung
menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik
sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga
sosial-ekonomi termasuk koperasi)
cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola
bebas dari substansi
intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere,
seperti Koperasi, malah
menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara
tidak sadar
mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan
atau
demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi
dan
pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan
produksi dan
konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga
masyarakat,
sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota
masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti
logika modernitas
dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan
memiliki
diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat.
Bentuk
koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif
oleh negara.
Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25
tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang
atau badan
hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum
definisi
tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan
ekonomi
rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah
aktivitasnya dilandasi
dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata
kunci,
ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi
rakyat
memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat
Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional
dengan cara reformasi
sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An
effective development state”
adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari
kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari
godaan
untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan
yang
dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat
banyak, pro
keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme,
menjunjung tinggi
integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap
emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan
negara sebagai suatu “soft
state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani
melaksanakan tindakan
hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses
transformasi
sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang
kita inginkan
ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki
kedaulatan”.
3. CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti
(core competencies)
sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi
memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk
pelanggan. Organisasi
mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan
kompetensi yang
membedakan (differentiating competencies). Kompetensi- kompetensi
yang perlu adalah
semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang
membedakan
adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok
organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi
ilmiah).
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu
organisasi perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan
untuk pengembangan
dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang
baru. Dengan
begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer
puncak suatu
organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta
kerja sama
pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990),
kemampuan kompetitif
perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang
tangguh di
era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential
advantage. Berikut penjelasannya: …are all converging on
similar and formidable standards for product cost and quality – minimum
hurdles for continued competition, but less and less important as sources of
differential advantage. Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif
dikendalikan pada kemampuan untuk mengembangkan core competencies.
Kompetensi inti di sini lebih mengedepankan : Management ability to
consolidate corporatewide technologies and production skills into competencies
that empower individual business to adapt quickly to changing opportunities.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama,
dalam jangka
pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai
kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk
konsolidasi
dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan
kemampuan dan
ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap
organisasi
melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage,
karena hal itu hanya
bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi
bisnis agar dapat
menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang
selalu berubah,
diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta
kemampuan
“collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core
competence agar
dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing
streams
of technology” dan “decisively in
services”.
Nama
/ NPM : Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas
/ Tahun : 2EB09 / 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar