Jumat, 28 Desember 2012


Tulisan 2
Koperasi Indonesia:Operasionalisasi Ekonomi Rakyat dan Metodologi Penelitian


REVIEW :
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI INTI DAN KONSEP BISNIS KOPERASI:
Digali dari realitas masyarakat Indonesia
Oleh :
Aji Dedi Mulawarman2
Berisi :
KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT


Sarman (2007) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi saat ini hanya diarahkan pada kepentingan ekonomi sempit. Dalam perspektif lebih luas perlu perencanaan tujuan
pembangunan yang diarahkan kepada pembangunan manusia, bukan terjebak disekitar
pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak sekedar terpusat
misalnya pada pertumbuhan, tetapi harus dapat mempertahankan struktur sosial dan
budaya yang baik. Pembangunan ekonomi yang banyak merubah keadaan sosial dan
budaya menjadi negatif merupakan penyebab munculnya masalah moral.
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan
pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya
pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu
ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman
pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalahmasalah masyarakat Indonesia dewasa ini.
Logika modernisasi menurut kerangka filosofis kapitalisme berkenaan
pemberdayaan berada pada bagaimana mendekatkan dikotomi antara kepentingan privat
dan publik lewat media kelembagaan (mega structures). Hal ini terjadi karena menurut
Nugroho (2001) Barat mengidentifikasi realitas makro sebagai lembaga bersifat makro,
obyektif serta politis (public sphere) baik berbentuk konglomerasi para pemilik modal,
birokrasi, asosiasi tenaga kerja dengan skala besar, profesi terorganisir, dan lainnya.
Masalahnya mega-structures tersebut cenderung mengalienasi dan tidak memberdayakan
eksistensi individu (privat sphere). Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan
intermediasi privat-publik model kapitalisme. Lembaga mediasi (mediating institutions)
di satu sisi memberi makna privat, tetapi di sisi lain mempunyai arti publik, sehingga
mampu mentransfer makna dan nilai privat ke dalam pemaknaan struktur makro.
Hanya masalahnya liberalisme yang sekarang berevolusi menjadi neoliberalisme
dan telah merambah Indonesia, mulai dari kebijakan sampai aksi konkritnya tidak
bersesuaian dengan koridor intermediasi seperti itu. Seperti dijelaskan di muka bahwa
neoliberalisme telah merasuk ke seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Faham
liberal menurut Nugroho (2001) lebih mempertahankan hak-hak individu dan cenderung
menegasikan bahwa privat sphere memiliki konsekuensi publik sphere. Bahkan lembaga intermediasi (seperti lembaga keagamaan, lembaga sosial-ekonomi termasuk koperasi)
cenderung dipertentangkan bahkan digiring menjadi area privat sphere.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi
intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah
menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar
mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan
pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan
konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat,
sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
Bentuk Koperasi jelas bukanlah lembaga intermediasi seperti logika modernitas
dan kapitalisme. Sehingga treatment pengembangannya jelas harus unik dan memiliki
diferensiasi dengan pengembangan koperasi di negara lain atau bahkan Barat. Bentuk
koperasi yang unik tersebut sebenarnya telah didefinisikan secara regulatif oleh negara.
Definisi koperasi dapat dilihat secara tekstual pada pasal 1 UU No. 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian, yaitu sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan
hukum koperasi melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Secara umum definisi
tersebut memberikan gambaran bahwa koperasi merupakan bentuk dari gerakan ekonomi
rakyat. Kekhasan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah aktivitasnya dilandasi
dengan asas kekeluargaan. Artinya, koperasi ala Indonesia memiliki dua kata kunci,
ekonomi rakyat dan kekeluargaan. Mudahnya, koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat
memerlukan definisi operasionalnya sendiri, sesuai realitas masyarakat Indonesia.
Usulan Arif (1995) untuk memperbaiki ekonomi nasional dengan cara reformasi
sosial yang mendasar, “an effective development state”. “An effective development state
adalah suatu elit kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku; (1) bebas dari
kepentingan pihak manapun kecuali kepentingan rakyat banyak, (2) bebas dari godaan
untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga dengan menggunakan kekuasaan yang
dipegangnya, (3) mengatur suatu ideologi politik yang memihak rakyat banyak, pro
keadilan, anti penindasan, anti feodalisme, nepotisme dan despotisme, menjunjung tinggi
integritas, menghargai kerja nyata dan “committed” terhadap emansipasi kemanusiaan untuk semua orang, (4) tidak melaksanakan pemerintahan negara sebagai suatu “soft
state”, yaitu suatu pemerintahan yang lemah dan tidak berani melaksanakan tindakan
hukum terhadap segala bentuk penyimpangan yang menghambat proses transformasi
sosial yang hakiki. Ringkasnya Arif lebih setuju pernyataan Hatta: “ Yang kita inginkan
ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan”.

3. CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Prahalad dan Hamel (1994) mendefinisikan kompetensi inti (core competencies)
sebagai suatu kumpulan keahlian dan teknologi yang memungkinkan suatu organisasi
memiliki positioning agar memberi manfaat lebih efektif untuk pelanggan. Organisasi
mempunyai kompetensi yang perlu (necessary competencies) dan kompetensi yang
membedakan (differentiating competencies). Kompetensi- kompetensi yang perlu adalah
semua kompetensi yang menciptakan nilai, sedangkan kompetensi yang membedakan
adalah kompetensi-kompetensi yang memberi organisasi tertentu atau kelompok
organisasi suatu posisi kompetitif (misalnya penguasaan pasar, reputasi ilmiah).
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan
dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan
begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak suatu
organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama
pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.
Dalam jangka pendek, lanjut Prahalad dan Hamel (1990), kemampuan kompetitif
perusahaan dikendalikan oleh atribusi kinerja/harga. Tetapi perusahaan yang tangguh di
era kompetisi global ditegaskan tingkat kompetitif perlu menekankan pada differential
advantage. Berikut penjelasannya: …are all converging on similar and formidable standards for product cost and quality – minimum hurdles for continued competition, but less and less important as sources of differential advantage. Sedangkan jangka panjang, kemampuan kompetitif dikendalikan pada kemampuan untuk mengembangkan core competencies. Kompetensi inti di sini lebih mengedepankan : Management ability to consolidate corporatewide technologies and production skills into competencies that empower individual business to adapt quickly to changing opportunities.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka
pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai
kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi
dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan
ketangguhan dari para penggiat organisasinya. Artinya, kebutuhan setiap organisasi
melakukan bisnis tidak hanya mementingkan differential advantage, karena hal itu hanya
bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada produk. Organisasi bisnis agar dapat
menjalankan going concern dan kuat bertahan pada lingkungan yang selalu berubah,
diperlukan core competence yang memiliki keunggulan visioner serta kemampuan
collective learning” para penggiat organisasinya. Kata kunci core competence agar
dapat menjalankan peran going concern dan adaptif, adalah pada “harmonizing streams
of technology” dan “decisively in services”.


Metodologi Penelitian : Beyond  Srukturalism
Pengembangan bisnis koperasi dalam penelitian ini menggunakan metodologi Beyond
Strukturalism, diadaptasi dari metodologi Hiperstrukturalisme yang dikembangkan
Mulawarman (2006). Beyond Strukturalism memiliki dua tahapan, pertama,
pengembangan metodologi, dan kedua, penerapannya berbentuk metode penelitian.
Suriasumantri (1985, 328) menjelaskan bahwa metodologi penelitian adalah
“pengetahuan tentang metode” yang dipergunakan dalam penelitian. Berdasarkan hal
tersebut pengembangan metodologi dalam penelitian ini merupakan proses pendefinisian,
penjelasan, dan pembuatan kerangka umum dari metode yang akan digunakan.
Salah satu yang harus ditentukan pada metodologi penelitian adalah metode dan
tujuan penelitian (Suriasumantri 1985, 328). Setelah dilakukan pengembangan
metodologi penelitian, tahap kedua adalah menerjemahkan kerangka umum metode
dalam prosedur penelitian secara eksplisit dan sistematis. Metode sendiri menurut Senn
dalam Suriasumantri (1985, 119) merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu
yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dengan demikian yang dilakukan di sini
adalah penyusunan prosedur metodologi yang telah dikembangkan pada tahap pertama.
Tahap Pertama: Rumusan Umum Metodologi
Beyond Structuralism dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme9 dan
postrukturalisme10. Strukturalisme digunakan, pertama, untuk mendalami interkoneksi
unsur-unsur pembentuk realitas; kedua, mencari struktur di balik unsur-unsur maupun di
balik realitas empiris pembentuk unsur; ketiga, menemukan binary opposition unsurunsur
realitas; dan keempat, menggali substansi unsur-unsur realitas secara sinkronis di
lapangan pada rentang waktu yang sama (bukan diakronis/perkembangan antar waktu).
Postrukturalisme digunakan untuk melampaui strukturalisme dalam melihat
realitas tersembunyi di luar unsur dan realitas, mulai dari tulisan (writing), jejak (trace),
perbedaan sekaligus penundaan tanda (differance), serta hasil penundaan (arche-writing).
Postrukturalisme juga melakukan proses penggalian unsur-unsur realitas melalui konteks
integasi sinkronis-diakronis. Integrasi yang dimaksud adalah penggalian antropologis
tidak hanya berdasarkan rentang waktu yang sama (sinkronis) tetapi juga perkembangan
antar waktu (diakronis). Teknisnya, penggalian integrasi empiris dilakukan saling silang
makna aktivitas bisnis koperasi saat ini (sinkronis) maupun masa lampau seperti ide
koperasi dari Hatta (diakronis).

 Tahap Kedua: Bentuk Metode Sebagai Turunan Metodologi
Metode penelitian menggunakan “ekstensi” Strukturalisme dan Postrukturalisme.
Ekstensi merupakan perluasan keduanya agar dapat digunakan secara empiris di
lapangan. Ekstensi empiris menggunakan metodologi Constructivist Structuralism
(Wainwright 2000) versi Bourdieu (1977; 1989).
Constructivist Structuralism (selanjutnya disingkat CS) selalu menginginkan titik
temu teori dan praktik yang mungkin (Mahar et al. 2005) melibatkan field (ruang sosial)
dan habitus (perilaku individu tanpa sadar) (Bourdieu 1977). Unsur penting CS bahwa
tiap individu dalam realitas (practice) menjalankan produk sosial (field) sekaligus
dipengaruhi kerangka pikir (habitus) dan membentuk perilaku individu (Bourdieu dan
Wacquant, 1992).
9 Strukturalisme merupakan usaha menemukan struktur umum yang terdapat dalam aktivitas manusia
(Ritzer 2003). Struktur sebagai “sebuah unit yang tersusun dari beberapa elemen dan selalu memiliki
hubungan dalam suatu ‘aktivitas’ yang tergambar. Unit tidak bisa dipecah dalam elemen-elemen tunggal.”
(Spivak 1974; dalam Ritzer 2003, 51).
10 Postrukturalisme merupakan antitesis strukturalisme. Derrida menjelaskan bahwa selalu ada suatu
realitas bersembunyi di belakang tanda; selalu ada sesuatu tersembunyi di balik kehadiran sesuatu. Ia adalah realitas dan hubungan dalam realitas (Ritzer 2003, 204).
 Menurut Bourdieu setiap individu dalam realitas (practice) tidak semata-mata
menjalankan produk sosial tetapi juga dipengaruhi kerangka pikir dan menterjemah
dalam perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Habitus dapat dikatakan
sebagai “blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam Wainwright 2000, 10).
Artinya, habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus merupakan hasil pembelajaran
lewat pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti luas.
Pembelajaran terjadi secara halus (disebut doxa oleh Bourdieu), tidak disadari dan tampil
sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi alam.
Proses rekonstruksi bisnis koperasi melalui “ekstensi” Constructivist
Structuralism dilakukan melalui habitus, field, capital dan practice. Artinya, fase ini
merupakan proses empiris untuk membuktikan bahwa sebenarnya terdapat nilai-nilai
yang dapat dijadikan source koperasi sesuai nilai mereka sendiri (habitus) secara
material-batin-spiritual.
Proses penelitian dilakukan, pertama, penggalian data tertulis baik akademis
maupun kegiatan perkoperasian. Kedua, pengamatan, wawancara dan pendalaman makna
dan simbol dari informan yang melakukan aktivitas bisnis koperasinya. Informan
penelitian yaitu, pertama, Pak Sulaiman, salah satu reporter PIP; kedua, Pak Naryo,
pengurus Dekopinda salah satu kota di Jawa Timur; Pak Aris, pengurus koperasi primer
di Kediri; keempat, Pak Rahmat pengurus BMT di salah satu kota Jawa Tengah; kelima,
Pak Budiman manajer salah satu koperasi serba usaha di Jawa Timur.



Nama / NPM      : Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas / Tahun     : 2EB09 / 2010-2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar