Senin, 06 Mei 2013

Tulisan 2 Pengertian Arbitrase , dan Dasar Hukum Arbitrase Syariah

Tulisan 2 Pengertian Arbitrase , dan Dasar Hukum Arbitrase Syariah




Review :
Memberdayakan Peran Badan
Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Luar
Pengadilan

Vol. I, No. 2, Desember 2007

Oleh :
Sufriadi
Berisi :
Pengertian Arbitrase

Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim sendiri adalah bahasa arab yang merupakan mashdar dari kata kerja hakkama. Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya.8 Secara terminologi, tahkim dapat diartikan dengan bersandarnya dua orang yang bertikai (bersengketa) kepada seseorang yang mereka
ridhoi keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka (para pihak).9
Selain kata arbitrase Islam yang dipadanankan dengan istilah tahkim, istilah Selain kata arbitrase Islam yang dipadanankan dengan istilah tahkim, istilah yang menggambarkannya sebagai jalur penyelesaian sengketa perspektif Islam, Islam juga memperkenalkan lembaga penyelesaian sengketa para pihak yang disebut juga ash shulhu. Beberapa kata dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan
kata yang berakar pada kata sholuha ini antara lain; ashlaha, shillaha, tasholaha, as 6 Win win solution adalah lawan dari win lose solution yang merupakan hasil akhir dari penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi. Lebih lengkap baca dalam Suyud Margono, op.cit, hal: 23-28 7 Terdapat banyak hal yang menjadi kelebihan dari penyelesaian perkara melalui jalur non litigasi. Diantaranya, lebih menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, menyelesaikan sengketa, menjaga ketertiban umum, dan membawa nilai-nilai
masyarakat yang terkandung dalam hokum untuk menyelesaikan sengketa. Lihat dalam Suyod Margono, ibid, hal: 24 8 Suhrawardi K. Lubis (2000), Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika),  hal: 186 9 M. Abdul Fatah dalam Suhrawardi K. Lubis, Ibid sulhu, as sholahiyah, as sholihu, ishlahun, ishlahiyah, mushlihun, dan mashlahah.
Sholuha adalah bagus, baik (kebalikan dari buruk), ashlaha berarti memperbaiki, shollaha diartikan membereskan, shoolaha berarti berdamai dengan, tasholaha berarti berdamai atau saling berdamai, as sulhu berarti perdamaian, as sholahiyah berarti kepantasan, as sholihu berarti yang bagus, baik, ishlahun berarti perbaikan, koreksi, ishlahiyah berarti yang bermaksud, yang bersifat memperbaiki, mushlihun berarti pembaharu dari yang buruk atau juru damai, dan mashlahah dimaknai
faidah, kepentingan, kemanfaatan dan kemaslahatan. As sulhu disejajarkan dengan as silmu, ishlah disejajarkan dengan diddul ifsad (lawan dari perusakan). ishlahun, silmun, dan sulhun dapat disejajarkan dengan makna satu yaitu perdamaian atau perbaikan.10Dalam Al Mufid juga disebut bahwa  as sulhu dan as silmu dapat disejajarkan dalam pengertian perdamaian.11
 Lebih lanjut, kata itu diartikan dengan: berusaha menciptakan perdamaian; membawa keharmonisan; menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan yang lainnya; melakukan perbuatan baik; berperilaku sebagai orang suci (baik). Dikatakan, bahwa pengertian yang beragam itu berasal dari makna kata ini yang disebut dalam Al Qur’an. Adapun dalam bahasa Arab modern, istilah ini digunakan untuk pengertian pembaharuan.12 Sementara dalam pengertian syariat, ash shulhu berarti suatu akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan
(sengketa) antara dua orang yang terlibat dalam sengketa.13 Sementara itu, dalam hukum positif, kajian-kajian tentang arbitrase umumnya dirujuk pada pendapat-pendapat para pakar hukum barat, dan jarang mengemukakan pemikiran pakar dari kalangan muslim secara proporsional. Padahal, dalam penyelesaian sengketa di masyarakat, Islam memiliki konsep yang jelas dan perbedaan subtantif dengan dasar yang berbeda, terutama dalam hal filosofinya.Lebih lanjut,konsep islam tampak tidak kalah realistis untuk  diterapkan di masyarakat modern dibanding dengan konsep yang banyak muncul dari barat.
Kata arbitrase sendiri berasal dari bahasa arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh atbiter atau wasit.14 Hal ini senada dengan apa yang disampaikan 10 Adib Bisri dan Munawwir A Fatah (1999), Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia, (Surabaya: Pustka Progresif ), hal: 414-415
11Al Mufid Kamus Arab Indonesia, Indoensia Arab, tt. CD
12 Abdul Azis Dahlan, et.al, (2001), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru can Hoeve), hal: 740
13 Abdul Qodir Audah (2000),At Tatsyri’ al jinai al Islam Muqoeonan bil Qonunil
Wad’i, Juz Pertama, (Beirut: Muassash ar Risalah), hal: 773. Mengenai penyerapannya ke dalam bahasa Indonesia, lihat Abdul Azis Dahlan, et.al, (2001), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru can Hoeve), hal: 740
14 Rahmadi Usman (2003), Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, M. Husein dan A. Supriyani.15 Dikaitkannya istilah arbitrase dengan dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis hakim arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkannya kepaa kebijaksanaan. Padangan tersebut keliru, karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.16 Atas dasar inilah, dalam beberapa literatur istilah arbitrase popular juga dengan istilah pengadilan swasta (karena keberadaannya adalah sendiri dan mandiri tanpa campur tangan institusi formal kenegaraan), pengadian pengusaha (karena pihak yang bersengketa di dalamnya banyak yang berlatarbelakang
 pengusaha), perwasitan (dalam kontek arbiternya), dan lain sebagainya.
            Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.17 Di sini, wasit digunakan sebagai pihak ketiga yang netral dalam memutus perselisihan yang diajukan para pihak kepada arbiter.18 Sementara itu, pengertian arbitrase yang lebih rinci dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad. Ia mengatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal dengan khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan Negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perusahaan.19
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.20 Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan. Para pihak
telah menyepakati secara tertulis bahwa mereka, jika terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah mereka buat, akan memilih penyelesaian sengketa melalui (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal: 107
15 M. Husein dan A. Supriyani dalam Joni Emirzon (2001), Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsilisasi dan Arbitrase), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal: 96
16 Subekti (1981), Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Penerbit Binacipta), hal: 1-3
 17 Sudikno Mertokusumo (1999), Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty), hal: 144
 18 Gatot Soemargono, (2006), Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal: 25
19 Abdulkadir Muhammad (1993), Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal: 276
20 Lihat pada pasal 1 butir 1 arbitrase dan tidak berperkara di depan peradilan umum. Dengan demikian, yang
dilakukan adalah untuk memutuskan pilihan forum, yaitu yurisdiksi di mana
suatu sengketa akan diperiksa, dan bukan pilihan hukum.21




Dasar Hukum Arbitrase Syariah
Penyelesaian perkara melalui musyawarah dengan artian bertemunya antara pihak yPenyelesaian perkara melalui musyawarah dengan artian bertemunya antara pihak yang bersengketa dalam satu majelis, pada dasarnya adalah jalur terbaik. Keuntungan yang didapatkan kedua pihak yang bersengketa (setidaknya) adalah
penemuan solusi atau jalan keluar yang sama-sama disepakati. Hal ini sangat efektif meredam segala amarah yang ada dalam benak para pihak (terutama yang kalah) paska ditemukannya suatu solusi. Hal tersebut akan lebih sempurna jika jalur penyelesaian sengketa ini dikontekskan dengan fenomena yang terjadi di dunia modern. Banyaknya tuntutan terhadap seseorang, menjadikan keberadaan
jalur penyelesaian semacam arbitrase (seharusnya) tumbuh subur.
Di Indonesia, terbentuknya lembaga arbitrase islam (Basyarnas) memiliki landasan hukum yang kuat, baik dari tinjauan hukum positif, terlebih dari hukum islam. Dalam Islam, penggambaran terhadap penyelesaian setiap sengketa yang terjadi di masyarakat, justru harus didahulukan. Sumber hukum yang mendasari keharusan menempuh jalur ini serta mengisyaratkan adanya suatu lembaga khusus menangani jalur ini, terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ Ulama.
Beberapa dasar itu adalah sebagai berikut.
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat” ( QS.al Hujurat:9-10 )
“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya
(suami-isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Dan jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya
Allah akan memberikan petunjuk kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” ( QS.An Nisa’:35 )

Selain Al Qur’an, As Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, juga
memberikan penjelasan bagaimana suatu persengketaan harus segera didamaikan.

Diantaranya adalah sebagai berikut:
Dari Abi Hurairoh ra, mengabarkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari seseorang. Orang yang
membeli pekarangan tersebut menemukan sebuah guci yang berisikan
emas.Si pembeli berkata.’ambillah emas yang ada pada saya,aku hanya membeli tanahnya saja daripadamu”.Jawab penjual tanah, “aku telah menjual kepadamu tanah dan barang-barang yang terdapat di dalamnya”.  Kedua orang itu lalu bertahkim ( mengangkat arbitrator kepada seseorang.Arbitrator berkata,”apakah kamu berdua mempunyai anak?.Salah seorang yang bersengketa menjawab,”ya.Saya mempunyai seorang anak laki-laki’.Dan yang laki menjawab,”saya mempunyai seorang anak perempuan”.Lalu arbitrator berkata,kawinkanlah anak
laki-laki itu dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua mempelai
dengan emas itu”.Dan kedua orang tersebut menyedekahkan ( sisanya kepada fakir miskin )”.( HR.Bukhari Muslim)

Adapun ijma’ ulama sebagai sumber hukum Islam ketiga juga telah memperkuat keberadaan lembaga arbitrase untuk mengantisipasi persengketaan dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase setelah Rasulullah wafat, banyak dilakukan pada masa sahabat dan ulama setelahnya. Penyelesaian sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui musyawarah
dan kesepakatan bersama, sempat menjadi yurisprudensi hukum Islam dalam beberapa kasus. Keberadaan ijma’ sahabat atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya. Dalam hal ini, Umar bin Khottob pernah mengatakan,tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai,karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka”.
Dalam konteks keindonesiaan, perkara ijma’ ulama ini banyak diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pembentukan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah salah satu yang dapat dikatakan masuk dalam kategori ijma’ ulama. Walaupun BAMUI dibentuk dan disetujui hanya oleh sebagian Ulama atau cendikiawan muslim, secara yuridis formal dan dari segi hukum Islam mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terlebih, keberadaan lembaga semacam ini memang telah menjadi sebuah tuntutan seiring berkembangnya
perekonomian dengan sistem syariah di Indonesia.23
Jika diamati lebih lanjut, ketiga sumber hukum Islam ini, dalam hal
penyelesaian sengketa jalur alternatif ash shulhu (ishlah) atau tahkim, sesungguhnya mengisyaratkan tidak terbatas hanya pada persoalan bisnis (ekonomi) atau keperdataan lainnya, melainkan juga dapat dipraktekkan dalam penyelesaian kasus di bidang perang, politik, pidana, dan lain sebagainya. Bahkan penyelesaian ini (harus) lebih diutamakan. Asumsi yang berkembang di benak masyarakat
secara umum, bahwa penyelesaian sengketa melalui badan peradilan dipastikan bersifat antagonistis dan selalu menimbulkan kedengkian di antara umat Islam. Kedengkian itu muncul akibat dari keterpaksaan menerima putusan dari pihak pengadilan, baik memenuhi rasa keadilan atau tidak.
Selanjutnya, keberadaan Basyarnas secara yuridis formal mempunyai legitimasi yang kuat di Indonesia. Terdapat dasar hukum yang memungkinkan lembaga lain di luar lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan pada badan peradilan yang (saat itu) berpedoman pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman. Meskipun dalam Pasal 3 ayat (2) UU tersebut dinyatakan bahwa hanya
badan peradilan negara yang menetapkan dan menegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi, dalam penjelasan pasal itu membolehkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada kalimat berikutnya, penjelasan Pasal 3 menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. Hanyasaja, putusan arbitrase akan mempunyai
kekuatan eksekutorial (executoir) setelah didaftarkan di lembaga peradilan.24
Ketentuan Arbitrase sebagaimana dalam pasal 615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatblaad 1847: 52), Pasal 377 Reglement Indonesia yang Diperbaharui ( Het Herziene Indonesich Reglement Staadblad 1941: 44), dan Reglement Acara untuk Daerah Luar Jawa
dan Madura (Reglement Buitengsewesten, staatsblad 1927: 227), dinyatakan sudah tidak berlaku sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.25 Undang-Undang ini adalah aturan pokok bagi setiap lembaga arbitrase di indonesia, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sendiri.
Dengan demikian, aturan paling tepat yang mendasari pembentukan dan operasional Basyarnas adalah penjelasan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Arbitrase dan APS. Khusus yang terakhir, belakangan menimbulkan perdebatan setelah UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama diterbitkan. Terdapat pakar yang mengemukakan pendapatnya dengan kesan mencukupkan aturan
yang dipakai Basyarnas sebatas aturan ini saja.26 Namun, di pihak lain menentang aturan yang tidak spesifik mengatur tentang Basyarnas,terutama mengenal operasional dan langkah lebih lanjut setelah klausa arbitrase dihasilkan, sehingga cenderung mendesak agar pengaturan spesifik mengenai Basyarnas secepatnya
diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang. Alasannya, antara Basyarnas yang  menerapkan konsepsi syariah dalam menyelesaikan urusan yang berbasis syariah berbeda secara filosofis dengan aturan yang ada dalam Undang-Undang Arbitrase dan ADR yang tidak mengakomodir nilai filosofis tersebut secara sempurna.



Nama / NPM   : Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas / Tahun  : 2EB09 / 2010-2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar