Review :
Memberdayakan Peran Badan
Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Luar
Pengadilan
Vol. I, No.
2, Desember 2007
Oleh
:
Sufriadi
Berisi :
Pengertian Arbitrase
Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat disepadankan
dengan istilah tahkim. Tahkim sendiri adalah bahasa arab yang
merupakan mashdar dari kata kerja hakkama. Secara etimologis,
kata itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian
tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya.8 Secara
terminologi, tahkim dapat diartikan dengan bersandarnya dua orang yang
bertikai (bersengketa) kepada seseorang yang mereka
ridhoi keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka (para pihak).9
Selain kata arbitrase Islam yang dipadanankan dengan
istilah tahkim, istilah Selain kata arbitrase Islam yang dipadanankan
dengan istilah tahkim, istilah yang menggambarkannya sebagai jalur
penyelesaian sengketa perspektif Islam, Islam juga memperkenalkan lembaga
penyelesaian sengketa para pihak yang disebut juga ash shulhu. Beberapa
kata dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan
kata yang berakar pada kata sholuha ini antara lain; ashlaha,
shillaha, tasholaha, as 6 Win win solution adalah
lawan dari win lose solution yang merupakan hasil akhir dari
penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi. Lebih lengkap baca dalam Suyud
Margono, op.cit, hal: 23-28 7 Terdapat banyak hal yang menjadi kelebihan
dari penyelesaian perkara melalui jalur non litigasi. Diantaranya, lebih
menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, menyelesaikan sengketa, menjaga
ketertiban umum, dan membawa nilai-nilai
masyarakat yang terkandung dalam hokum untuk menyelesaikan sengketa. Lihat
dalam Suyod Margono, ibid, hal: 24 8 Suhrawardi K. Lubis (2000), Hukum
Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika),
hal: 186 9 M. Abdul Fatah dalam Suhrawardi K. Lubis, Ibid sulhu, as
sholahiyah, as sholihu, ishlahun, ishlahiyah, mushlihun,
dan mashlahah.
Sholuha adalah bagus, baik (kebalikan dari buruk), ashlaha berarti
memperbaiki, shollaha diartikan membereskan, shoolaha berarti
berdamai dengan, tasholaha berarti berdamai atau saling berdamai, as
sulhu berarti perdamaian, as sholahiyah berarti kepantasan, as
sholihu berarti yang bagus, baik, ishlahun berarti perbaikan,
koreksi, ishlahiyah berarti
yang bermaksud, yang bersifat memperbaiki, mushlihun berarti pembaharu
dari yang buruk atau juru damai, dan mashlahah dimaknai
faidah, kepentingan, kemanfaatan dan kemaslahatan. As sulhu disejajarkan
dengan as silmu, ishlah disejajarkan dengan diddul ifsad (lawan
dari perusakan). ishlahun, silmun, dan sulhun dapat
disejajarkan dengan makna satu yaitu perdamaian atau perbaikan.10Dalam Al Mufid
juga disebut bahwa as sulhu dan as
silmu dapat disejajarkan dalam pengertian perdamaian.11
Lebih lanjut, kata
itu diartikan dengan: berusaha menciptakan perdamaian; membawa keharmonisan;
menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan yang lainnya; melakukan
perbuatan baik; berperilaku sebagai orang suci (baik). Dikatakan, bahwa
pengertian yang beragam itu berasal dari makna kata ini yang disebut dalam Al
Qur’an. Adapun dalam bahasa Arab modern, istilah ini digunakan untuk pengertian
pembaharuan.12 Sementara dalam pengertian syariat, ash shulhu berarti
suatu akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan
(sengketa) antara dua orang yang terlibat dalam sengketa.13 Sementara itu,
dalam hukum positif, kajian-kajian tentang arbitrase umumnya dirujuk pada
pendapat-pendapat para pakar hukum barat, dan jarang mengemukakan pemikiran
pakar dari kalangan muslim secara proporsional. Padahal, dalam penyelesaian
sengketa di masyarakat, Islam memiliki konsep yang jelas dan perbedaan
subtantif dengan dasar yang berbeda, terutama dalam hal filosofinya.Lebih
lanjut,konsep islam tampak tidak kalah realistis untuk diterapkan di masyarakat modern dibanding
dengan konsep yang banyak muncul dari barat.
Kata arbitrase sendiri berasal dari bahasa arbitrare (Latin),
arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman),
arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh atbiter atau wasit.14 Hal
ini senada dengan apa yang disampaikan 10 Adib Bisri dan Munawwir A
Fatah (1999), Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia, (Surabaya:
Pustka Progresif ), hal: 414-415
11Al Mufid Kamus Arab Indonesia, Indoensia Arab,
tt. CD
12 Abdul Azis Dahlan, et.al, (2001), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid
II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru can Hoeve), hal: 740
13 Abdul Qodir Audah (2000),At Tatsyri’ al jinai al Islam Muqoeonan bil
Qonunil
Wad’i, Juz Pertama, (Beirut: Muassash ar Risalah), hal: 773.
Mengenai penyerapannya ke dalam bahasa Indonesia, lihat Abdul Azis Dahlan,
et.al, (2001), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: PT
Ichtiar Baru can Hoeve), hal: 740
14 Rahmadi Usman (2003), Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, M. Husein dan A. Supriyani.15 Dikaitkannya istilah arbitrase
dengan dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis hakim
arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para
pihak, tetapi cukup mendasarkannya kepaa kebijaksanaan. Padangan tersebut
keliru, karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh
hakim di pengadilan.16 Atas dasar inilah, dalam beberapa literatur istilah
arbitrase popular juga dengan istilah pengadilan swasta (karena keberadaannya
adalah sendiri dan mandiri tanpa campur tangan institusi formal kenegaraan),
pengadian pengusaha (karena pihak yang bersengketa di dalamnya banyak yang
berlatarbelakang
pengusaha), perwasitan (dalam kontek
arbiternya), dan lain sebagainya.
Menurut Mertokusumo,
arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan
berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan
sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.17 Di sini, wasit digunakan
sebagai pihak ketiga yang netral dalam memutus perselisihan yang diajukan para
pihak kepada arbiter.18 Sementara itu, pengertian arbitrase yang lebih rinci
dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad. Ia mengatakan bahwa arbitrase adalah
badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal dengan
khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan
ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.
Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan Negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak.
Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat
sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak
dalam hukum perusahaan.19
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan: Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.20 Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa
sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat
keperdataan. Para pihak
telah menyepakati secara tertulis bahwa mereka, jika terjadi perkara
mengenai perjanjian yang telah mereka buat, akan memilih penyelesaian sengketa
melalui (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal: 107
15 M. Husein dan A. Supriyani dalam Joni Emirzon (2001), Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsilisasi dan
Arbitrase), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal: 96
16 Subekti (1981), Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Penerbit
Binacipta), hal: 1-3
17 Sudikno Mertokusumo (1999), Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty), hal: 144
18 Gatot Soemargono, (2006), Arbitrase
dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal: 25
19 Abdulkadir Muhammad (1993), Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal: 276
20 Lihat pada pasal 1 butir 1 arbitrase dan tidak berperkara di depan
peradilan umum. Dengan demikian, yang
dilakukan adalah untuk memutuskan pilihan forum, yaitu yurisdiksi di mana
suatu sengketa akan diperiksa, dan bukan pilihan hukum.21
Dasar Hukum Arbitrase Syariah
Penyelesaian perkara melalui musyawarah dengan artian
bertemunya antara pihak yPenyelesaian perkara melalui musyawarah dengan artian
bertemunya antara pihak yang bersengketa dalam satu majelis, pada dasarnya
adalah jalur terbaik. Keuntungan yang didapatkan kedua pihak yang bersengketa
(setidaknya) adalah
penemuan solusi atau jalan keluar yang sama-sama disepakati. Hal ini sangat
efektif meredam segala amarah yang ada dalam benak para pihak (terutama yang kalah)
paska ditemukannya suatu solusi. Hal tersebut akan lebih sempurna jika jalur
penyelesaian sengketa ini dikontekskan dengan fenomena yang terjadi di dunia
modern. Banyaknya tuntutan terhadap seseorang, menjadikan keberadaan
jalur penyelesaian semacam arbitrase (seharusnya) tumbuh subur.
Di Indonesia, terbentuknya lembaga arbitrase islam
(Basyarnas) memiliki landasan hukum yang kuat, baik dari tinjauan hukum
positif, terlebih dari hukum islam. Dalam Islam, penggambaran terhadap
penyelesaian setiap sengketa yang terjadi di masyarakat, justru harus
didahulukan. Sumber hukum yang mendasari keharusan menempuh jalur ini serta
mengisyaratkan adanya suatu lembaga khusus menangani jalur ini, terdapat dalam
Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ Ulama.
Beberapa dasar itu adalah sebagai berikut.
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat” ( QS.al Hujurat:9-10 )
“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya
(suami-isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Dan jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya
Allah akan memberikan petunjuk kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” ( QS.An Nisa’:35 )
Selain Al Qur’an, As Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, juga
memberikan penjelasan bagaimana suatu persengketaan harus segera
didamaikan.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
Dari Abi Hurairoh ra, mengabarkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari seseorang. Orang yang
membeli pekarangan tersebut menemukan sebuah guci yang berisikan
emas.Si pembeli berkata.’ambillah emas yang ada pada saya,aku hanya membeli
tanahnya saja daripadamu”.Jawab penjual tanah, “aku telah menjual kepadamu
tanah dan barang-barang yang terdapat di dalamnya”. Kedua orang itu lalu bertahkim ( mengangkat
arbitrator kepada seseorang.Arbitrator berkata,”apakah kamu berdua mempunyai
anak?.Salah seorang yang bersengketa menjawab,”ya.Saya mempunyai seorang anak
laki-laki’.Dan yang laki menjawab,”saya mempunyai seorang anak perempuan”.Lalu
arbitrator berkata,kawinkanlah anak
laki-laki itu dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua mempelai
dengan emas itu”.Dan kedua orang tersebut menyedekahkan ( sisanya kepada
fakir miskin )”.( HR.Bukhari Muslim)
Adapun ijma’ ulama sebagai sumber hukum Islam ketiga juga
telah memperkuat keberadaan lembaga arbitrase untuk mengantisipasi
persengketaan dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase
setelah Rasulullah wafat, banyak dilakukan pada masa sahabat dan ulama
setelahnya. Penyelesaian sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui
musyawarah
dan kesepakatan bersama, sempat menjadi yurisprudensi hukum Islam dalam beberapa
kasus. Keberadaan ijma’ sahabat atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang
menentangnya. Dalam hal ini, Umar bin Khottob pernah mengatakan,tolaklah
permusuhan hingga mereka berdamai,karena pemutusan perkara melalui pengadilan
akan mengembangkan kedengkian di antara mereka”.
Dalam konteks keindonesiaan, perkara ijma’ ulama ini
banyak diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pembentukan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah salah satu yang dapat dikatakan
masuk dalam kategori ijma’ ulama. Walaupun BAMUI dibentuk dan disetujui hanya
oleh sebagian Ulama atau cendikiawan muslim, secara yuridis formal dan dari
segi hukum Islam mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terlebih, keberadaan
lembaga semacam ini memang telah menjadi sebuah tuntutan seiring berkembangnya
perekonomian dengan sistem syariah di Indonesia.23
Jika diamati lebih lanjut, ketiga sumber hukum Islam ini,
dalam hal
penyelesaian sengketa jalur alternatif ash shulhu (ishlah)
atau tahkim, sesungguhnya mengisyaratkan tidak terbatas hanya pada
persoalan bisnis (ekonomi) atau keperdataan lainnya, melainkan juga dapat
dipraktekkan dalam penyelesaian kasus di bidang perang, politik, pidana, dan
lain sebagainya. Bahkan penyelesaian ini (harus) lebih diutamakan. Asumsi yang
berkembang di benak masyarakat
secara umum, bahwa penyelesaian sengketa melalui badan peradilan dipastikan
bersifat antagonistis dan selalu menimbulkan kedengkian di antara umat Islam.
Kedengkian itu muncul akibat dari keterpaksaan menerima putusan dari pihak
pengadilan, baik memenuhi rasa keadilan atau tidak.
Selanjutnya, keberadaan Basyarnas secara yuridis formal
mempunyai legitimasi yang kuat di Indonesia. Terdapat dasar hukum yang
memungkinkan lembaga lain di luar lembaga peradilan umum dapat menjadi
wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan pada badan peradilan yang (saat
itu) berpedoman pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehakiman. Meskipun dalam Pasal 3 ayat (2) UU tersebut dinyatakan bahwa hanya
badan peradilan negara yang menetapkan dan menegakan hukum di Indonesia.
Akan tetapi, dalam penjelasan pasal itu membolehkan penyelesaian sengketa di
luar pengadilan. Pada kalimat berikutnya, penjelasan Pasal 3 menyatakan bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. Hanyasaja, putusan arbitrase akan
mempunyai
kekuatan eksekutorial (executoir) setelah didaftarkan di lembaga
peradilan.24
Ketentuan Arbitrase sebagaimana dalam pasal 615 sampai
dengan pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering,
Staatblaad 1847: 52), Pasal 377 Reglement Indonesia yang Diperbaharui (
Het Herziene Indonesich Reglement Staadblad 1941: 44), dan Reglement
Acara untuk Daerah Luar Jawa
dan Madura (Reglement Buitengsewesten, staatsblad 1927: 227),
dinyatakan sudah tidak berlaku sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.25
Undang-Undang ini adalah aturan pokok bagi setiap lembaga arbitrase di
indonesia, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase
Pasar Modal Indonesia (BAPMI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
sendiri.
Dengan demikian, aturan paling tepat yang mendasari
pembentukan dan operasional Basyarnas adalah penjelasan UU Kekuasaan Kehakiman
dan UU Arbitrase dan APS. Khusus yang terakhir, belakangan menimbulkan
perdebatan setelah UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama diterbitkan.
Terdapat pakar yang mengemukakan pendapatnya dengan kesan mencukupkan aturan
yang dipakai Basyarnas sebatas aturan ini saja.26 Namun, di pihak lain
menentang aturan yang tidak spesifik mengatur tentang Basyarnas,terutama
mengenal operasional dan langkah lebih lanjut setelah klausa arbitrase
dihasilkan, sehingga cenderung mendesak agar pengaturan spesifik mengenai
Basyarnas secepatnya
diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang. Alasannya, antara Basyarnas yang menerapkan konsepsi syariah dalam
menyelesaikan urusan yang berbasis syariah berbeda secara filosofis dengan
aturan yang ada dalam Undang-Undang Arbitrase dan ADR yang tidak mengakomodir
nilai filosofis tersebut secara sempurna.
Nama / NPM : Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar