Tulisan 3
Realita Kinerja
Basyarnas dan Problematikannya,Urgensi Pengaturan Basyarnas dalam Tata Hukum
Nasional,Penutup dan Daftar Pustaka
Review :
Memberdayakan Peran Badan
Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Luar
Pengadilan
Vol. I, No.
2, Desember 2007
Oleh
:
Sufriadi
Berisi :
Realita Kinerja Basyarnas dan Problematikanya
Jika
dirujuk jauh ke belakang, munculnya lembaga arbitrase di dunia lebih identik
dengan dua hal. Pertama, hanculnya idealitas lembaga peradilan sebagai
penyelesaian sengketa (perkara) di masyarakat, terutama penguasaha. Berbagai
dampak negatif kemudian sangat terasa bagi para pihak dalam penyelesaian
perkara tersebut melalui lembaga peradilan. Padahal, lembaga peradilan sendiri
pada dasarnya adalah tempat mengadu mereka yang merasa dirugikan dan
menuntut keadilan dari hak yang dirampas darinya. Hal ini menyebabkan
munculnya keraguan masyarakat, khususnya para pelaku bisnis. Kedua,
realitas perkara di pengadilan juga menunjukkan “ketidakmampuan” bekerja
secara maksimal karena menumpuknya
perkara masuk dan tidak dapat terselesaikan dengan baik. Di samping itu,
kompetensi yang dimiliki hakim yang tidak menguasai segala bidang secara
mendalam juga menjadi masalah kronis hingga kini. Pertimbangan pertama tampak
lebih menunjukkan bahwa keberadaan
lembaga peradilan adalah sebuah kebutuhan masyarakat sendiri. Sedangkan
kedua mengisyaratkan bahwa arbitrase dalam segala bentuknya, adalah kebutuhan
daripada lembaga peradilan.28
Selain mengharapkan penyelesaian sengketa dengan landasan
syariah, hal diatas tampak menjadi pertimbangan lagis dalam pembentukan dan
mempertahankan eksistensi Basyarnas sebagai penyelesai sengketa. Keberadaan
Basyarnas saat ini (atau bahkan jauh sebelum ini) dan saat yang akan datang,
27 Baca ungkapan Hanawijaya dalam http:
//www.hukumonline.com, diakses
tanggal 15 Januari 2008. Bandingkan Peri Umar Farouk, dalam http:
//www.wikidot. com diakses tanggal 15 Januari 2008
28 Tidak mudah menciptakan suatu sistem penyelesaian
sengketa yang diinginkan
dunia bisnis. Dunia bisnis menghendaki sistem yang tidak formal dan
pemecahan masalah menuju masa depan. Paradigma sistem seperti ini sulit diatur
dalam sistem litigasi (ordinary court) karena sistem litigasi bukan
didesain untuk menyelesaikan masalahm melainkan lebih mengutamakan penyelesaian
yang berlandaskan penegakan dan kepastian hukum. Bahkan, jika dilihat secara
mendalam, penyelesaian sengketa yang lebih tepat untuk masyarakat indonesia
adalah penyelesaian dengan jalur alternatif. Jalur alternatiflah yang metode
penyelesaian yang sesuai dengan jiwa masyarakat indonesia. Baca lebih lanjut
dalam Suyud Margono, log.cit, hal: 138-140. Sejauh ini, arbitrase adalah
lembaga yang paling banyak digunakan oleh para pengusaha atau pebisnis. Bahkan
sejarah awal munculnya pengadilan arbitrase juga untuk menyelesaikan sengketa
para pengusaha. Rahmad Rosyadi dan Ngatino, log.cit, hal: 91 sangat di
butuhkan aktifitas kerja dan efektivitas kinerjanya.Hal itu di sebabkan karena keberlanjutan perkembangan ekonomi
syariah ke depan tampaknya tidak dapat diragukan. Beberapa analisis ekonom dan
pelaku bisnis menyatakan
keyakinannya terhadap keberlanjutan perekonomia syariah.
Namun, keberadaan Basyarnas di tengah-tengah masyarakat,
realita justru mempertontonkan sebaliknya. Data menunjukkan bahwa dari awal
berdirinya (2003) hingga sekarang (2007), baru dua sengketa perbankan syariah
yang berhasil dituntaskan Basyarnas. Tiga sengketa lainnya sempat didaftarkan
tetapi akhirnya tidak diproses lantaran kurang memenuhi persyaratan. Sementara
BAMUI, dari 1993 hingga 2003 tercatat menyelesaikan 12 sengketa perbankan
syariah. Dengan
demikian, Basyarnas plus BAMUI baru menyelesaikan 14 sengketa perbankan
syariah.29 Terlepas dari berbagai asumsi, hipotesis, atau prasangka baik
terhadap keberadaan basyarnas dan perilaku islami30 yang diterapkan semua pihak
dalam bertransaksi ekonomi islam, sejak kelahiran Basyarnas hingga kini,
berbagai problem terlihat masih “betah” menghuni tubuh Basyarnas. Salah satu
problem substantif dan urgen dipecahkan
adalah mengenai regulasi penyelesaia sengketa melalui Basyarnas.
Sampai saat ini, aturan yang dijalankan Basyarnas, baik
secara konseptual dan implementasi, sepenuhnya masih merujuk kepada UU Nomor 30
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-undang ini adalah pokok penerapan semua lembaga arbitrase di indonesia. Hanya,
perumusan aturan ini sesungguhnya dominan dilatarbelakangi perkembangan bisnis
(ekonomi) konvensional yang banyak menimbulkan sengketa. Dengan demikian,
muatan-muatan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi syariah, khususnya
Basyarnas sebagai penyelesai sengketa terlihat tidak begitu diakomodir.
Akibatnya, terdapat berbagai persolan muncul, yang paling heboh adalah
kewajiban Basyarnas mendaftarkan putusan arbitrase ke pengadilan negeri.31
Sejak awal, dipahami bahwa landasan yang digunakan ekonomi syariah dan
konvensional memiliki perbedaan yang substansi, sehingga penyelesaian sengketa
antara keduanya juga memiliki perbedaan. Dengan demikian, Pengadilan Negeri
yang populer
(dalam perkara perdata) menangani ekonomi konvensional sejatinya tidak
dapat memproses sengketa ekonomi syariah yang memiliki perbedaan prinsip dengan
ekonomi konvensional. Sementara itu, Pengadilan Agama yang diasumsikan lebih
tepat menangani persolan ini, secara normatif, tidak berhak menanganinya
29 http: //www.hukumonline.com diakses tanggal 15 Januari 2008
30 Dalam sebuah wawancara, Ketua Basyarnas, Yudo Pramono, menghimbau agar berbaiksangka
dalam menanggapi realita sedikitnya sengketa yang masuk ke Basyarnas. Dia
menyatakan: “Melihat sedikitnya sengketa yang masuk Basyarnas kita punya prasangka
baik atau asumsi bahwa sengketa itu sedikit di perbankan syariah oleh karena ada
mekanisme internal sendiri disamping barangkali kesadaran masing-masing pihak
untuk melaksanakan syariah”.Baca dalam http: //www.pmii-ciputat.org
31 Lihat dalam pasal 59 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
karena tidak masuk dalam kompetensi absolutnya. Suasana dilematis ini terus
berlangsung dalam lingkaran perasaan canggung bagi pihak Basyarnas, hanya saja
tidak diekspos berlebihan dengan banyak pertimbangan.
Adapun sekarang, ketika UU Pengadilan Agama tahun 2006
diterbitkan, tidak tuntas menyelesaikan problem lama Basyarnas, sebaliknya
cenderung menimbulkan polemik baru dalam pengaturan operasional Basyarnas.32
Perdebatan para pakar hukum tidak dapat terelakkan. Bahkan yang menjadi
“target” pembicaraan tidak hanya posisi Basyarnas sendiri,melainkan UU itu yang dinilai berbenturan dengan UU Arbitrase
dan APS.
Dalam kondisi seperti ini, keterpurukan Basyarnas jelas
akan lebih menjadijadi, setidaknya, perkara yang masuk ke meja Basyarnas akan
jauh berkurang. Karena problem tidak hanya terjadi di wilayah akademis, tapi
juga akan merambah ke ranah bisnis. Polemik semacam ini akan menjadi
pertimbangan serius bagi pebisnis untuk menyelesaikan sengketanya di Basyarnas.
Keragu-raguan akan
muncul dan pada akhirnya akan mengakumulasi keyakinan pebisnis itu untuk memandang
sebelah mata terhadap Basyarnas dalam menyelesaikan sengketanya. Maka, di sini
kemudian letak perlunya kejelasan regulasi bagi Basyarnas sebagai lembaga
arbitrase penyelesai sengketa ekonomi syariah.
VI. Urgensi Pengaturan Basyarnas dalam Tata Hukum
Nasional
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan
ekonomi
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa
pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah precondition
for economic change, crucial to the viability of new political system,
dan an agent
of social change.33
Agar hukum dapat berperan dalam pembangunan ekonomi
nasional maka hukum di Indonesia harus memenuhi lima kualitas, yaitu; kepastian
(predictability); stabilitas (stability); keadilan (fairness);
pendidikan (education); dan kemampuan SDM di bidang hukum (special
abilities of the lawyer).34 Kelima
32 Pasal 49 adalah pokok munculnya persoalan. Dalam uu
tersebut, penambahan kompetensi absolut PA dengan penyelesaian sengketa ekonomi
syariah ditanggapi banyak pakar. Sebagian menyatakan bahwa pasal ini tidak
dapat berlaku karena bertentangan dengan UU Arbitrase dan APS, dan sebagian
lain menyatakan bahwa UU PA tahun 2006 adalah aturan khusus (lex spesialis) dari
aturan sebelumnya (lex generalis). Yang lebih parah, terdapat anggapan
yang menyatkan bahwa dengan terbitnya UU ini, maka
praktis peran Basyarnas dapat dikatakan betul-betul pudar, karena telah
digantikan oleh PA.
33 Agustianto, Politik Hukum Ekonomi Syariah, baca dalam http:
//www.
karimconsulting.com diakses tanggal 15 Januari 2008
34 Penjelasan lebih lengkap, baca dalam Agustiano, Ibid fungsi
regulasi ini merupakan modal dalam membuat aturan hukum yang efektif
dalam membangun objek yang diatur.
Sejauh ini, paska penerbitan dan perdebatan mengenai
materi UU PA tahun 2006, pembicaraan seputar Basyarnas terlihat mengarah pada
tuntutan pengaturan ulang Basyarnas.35 Dari sisi hukum, ini adalah tuntutan
yang tepat untuk terus dilakukan. Mempertimbangkan fenomena yang terjadi,
sejauh ini, pengaturan tentang “keberadaan”
lembaga arbitrase sebagai penyelesaian sengketa telah memiliki regulasi
yang jelas dan kuat. Namun, khusus Basyarnas, ini tidak
cukup. Aturan-aturan yang telah ada justeru harus ditinjau ulang dan
diperbaiki sesuai dengan tuntutan terhadap Basyarnas ke depan. Karena dengan
pengaturan demikianlah, tanggung jawab Basyarnas sebagai sebuah lembaga yang
dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, dapat tergambar dengan jelas dan
dapat terwujud sebagaimana diharapkan.
VII. Penutup
Selama ini, ketidakefektifan kinerja Basyarnas disebabkan
banyak hal. Selain faktor internal seperti stok dana operasional yang sangat
minim, pengurus Basyarnas yang kurang intens, dan lain sebagainya,
ketidakefektifan itu juga sangat dipengaruhi oleh aturan yang tidak memihak
kepada Basyarnas. Pengaturan terhadap Basyarnas harus digagas dan diterbitkan
ulang oleh yang memiliki wewenang.
Perjuangan terhadap penerapan syariah ala indonesia
ke depan harus dilakukan secara menyeluruh. Sejarah membuktikan bahwa penerapan
suatu lembaga dalam skala nasional tidak akan berkembang sebagaimana harapan
jika tidak didorong dengan regulasi. Basyarnas adalah salah satu perangkat yang
seharusnya berperan banyak dalam mendukung perkembangan ekonomi syariah
indonesia. Tantangan ekonomi syariah ke depan lebih besar, sehingga semuan
langkah konstruktif dan antisipatif harus digagas dan dilakukan sejak dini. Wallahu
a’lam bi kulli umur.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan, et.al, (2001), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II,
Jakarta: PT Ichtiar Baru can Hoeve.
35 MA kini mulai menggodok Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Dalam
penggodakan itu, MA sepatutnya memperhatikan persoalan ini dengan serius.
Melalui KHES nantinya harus benar-benar menegaskan bagaimana idealnya
penyelesaian sengketa yang timbul dalam praktik ekonomi syariah. Selain itu, MA
juga tentunya tidak boleh memandang sebelah mata fatwa-fatwa yang dihasilkan
DSN. Pun, MA tak patut mengabaikan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006. http:
//www.hukumonline.com diakses tanggal 15 Januari 2008
Abdulkadir Muhammad (1993), Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Abdul Qodir Audah (2000), At Tasyri’ al jinai al Islam Muqoeonan bil
Qonunil Wad’i, Juz Pertama, Beirut:
Muassash ar Risalah.
Adib Bisri dan Munawwir A Fatah (1999), Kamus Indonesia-Arab, Arab
Indonesia, Surabaya: Pustka Progresif.
Fathurrahman (1977), Hadist-Hadist Tentang Peradilan Agama, Jakarta:
Bulan Bintang.
Gatot Soemartono (2006), Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Ibnu Hajar Astqolani (1994), Bulughul Maram dan Terjemahnya (alih
bahasa: Masdar Helmy), Bandung: Gema Risalah Press.
M. Husein dan A. Supriyani dalam Joni Emirzon (2001), Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsilisasi dan
Arbitrase, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
M. Yahya Harahap (1997), Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa,Jakarta:Sinar Grafika.
________________ (1997), Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,
Jakarta:Sinar Grafika.
Nur Kholis (2006), Penegakan Syariah Islam di Indonesia (Perspektif
Ekonomi),Jurnal Hukum Islam Al Mawarid,Edisi:XVI,Fakultas Ilmu Agama
Islam,UUI:Yogyakarta.
Rahmadi Usman (2003), Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Rahmat Rosyadi dan Ngatino (2002), Arbitrase dalam Perspektif Islam dan
Hukum Positif, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Suyud Margono (2004), Alternative Dispute Resulotion (ADR) dan Arbitrase,
Bogor: Ghalia Indonesia.
Sudikno Mertokusumo (1998), Hukum Acara Perdata Indonesia,
Yogyakarta: Liberty.
Suhrawardi K. Lubis (2000), Hukum Ekonomi Islam, Jakarta:Sinar
Grafika.
Subekti (1981), Arbitrase Perdagangan, Bandung: Penerbit Binacipta.
Sudikno Mertokusumo (1999), Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembianaan dan Pengembangan Bahasa (1990),
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka).
Dadang Muljawan (2007), Islamic Financial Engineering; A Regulatory
Perspective, Slide yang disampaikan pada International Seminar on
Islamic Financial Engineering 9-10 January, Yogyakarta, Indonesia
Agustianto, Politik Hukum Ekonomi Syariah, dalam http:
//www.karimconsulting. com diakses tanggal 15 Januari 2008.
Al Mufid,Kamus Arab Indonesia, Indoensia Arab, tt. CD.
Djoko Retnadi dalam http://www.iei.or.id/publicationfiles/pdf. diakses pada
tanggal 10 Januari 2008.
http: //www.bi.go.id diakses tanggal 25 Desember 2007.
http: //www.pmii-ciputat.org diakses tanggal 15 Januari 2008.
http: //www.hukumonline.com diakses tanggal 15 Januari 2008.
Peri Umar Farouk, Kelembagaan,
Operasional & Pengembangan Produk Bank Syariah: Perspektif Hukum Positif,
dalam http: //www.wikidot.com diakses tanggal 15 Januari 2008.
Wirawan, Menyelesaikan Perdata secara Singkat, dalam http:
//www.pikiran-rakyat. com/cetak. Diakses pada tanggal 10 Januari 2008
Nama / NPM : Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar