Tulisan 1
Absract,Pendahuluan,Realitas Lembaga Peradilan Indonesia
dalam Penyelesaian Sengketa
Review :
Memberdayakan Peran Badan
Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Luar
Pengadilan
Vol. I, No.
2, Desember 2007
Oleh
:
Sufriadi
Berisi :
Abstact
Naturally , in community will
have been conflict at the time. Especially for the development of the life.Such
as in money transaction (economy ) that have to need vetical development.In
Indonesia, the development of syariah economy is growing up in golden era,while
the condition of basyarnas ( Badan Arbitrase Syariah Nasional ) which is one
medium in legal action solving of non-litigation syaria economy – is declining.
Its ineffective working is shown at the
starting of syaria economy till growing up.This paper discribes the development
of syaria economy and its
rationalization needs with Basyarnas as alternative in legal action solving
effecttively for syaria economy practitioner.The one of solutions is a revision
of Basyarna Regulations.
Keywords : Basyarnas ,
Penyelesaian Sengketa , Ekonomi Syariah
Pendahuluan
Kehadiran sistem perekonomian syariah Indonesia dalam
kurun waktu dua
dasawarsa terakhir berkembang sangat pesat. Hal tersebut terlihat bukan
hanya dalam lingkungan perbankan saja, melainkan juga tumbuh dalam berbagai
bidang bisnis yang lain, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, pasar
modal syariah, dan yang lain. Dengan penunjukkan data-data dari banyak sumber
tentang perkembangan ekonomi syariah, sehingga mengukuhkan pendapat banyak kalangan,
terutama akademisi dan ekonom muslim, bahwa saat ini tidak ada Masiswa Program Dual Degree Jurusan Syariah
FIAI dengan Jurusan Ilmu
Hukum FH UII. Saat ini aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Pilar Demokrasi
Fakultas Ilmu Agama Islam UII; dan Ikatan Mahasiswa dan Keluarga Aceh Tenggara
(IKAMARA) Yogyakarta alasan untuk menolak penerapan sistem ekonomi syariah,
khususnya Indonesia.Data lain mengenai efektivitas penerapan sistem ini dalam
mengentaskan permasalahan-permasalahan ketimpangan di masyarakat juga
menunjukkan hasil yang tidak dapat dikatakan menyedihkan. Salah satu wacana
yang saat ini kerap didengungkan bahwa perkembangan ekonomi syariah adalah
pengentas berbagai persoalan sosial seperti kemiskinan dan pengangguran. Sejatinya,
hal semacam ini didukung oleh semua pihak dengan ikut berpartisipasi
memperbaiki implementasi sistem ekonomi syariah dapat lebih berkembang.
Seiring dengan berkembangnya sistem perekonomian syariah
dan diikuti dengan munculnya banyak perusahaan bisnis yang memproklamirkan diri
menggunakan sistem syariah, maka berbagai konsekuensi natural pasti akan
mengekor di belakang. Karena apapun ceritanya, ekonomi syariah juga masuk dalam
kategori dunia bisnis, dimana pelaku bisnis satu akan betul-betul dihadapkan
dengan persaingan seketat-ketatnya dengan pebisnis lain untuk meraih konsumen
dan keuntungan. Pendek kata, dunia bisnis yang merupakan
salah satu elemen yang berperan penting dalam pengembangan bangsa, selain
pula menjadi dunia empuk bagi setiap orang mencapai finansial ( penghasilan
) lebih, tentu mendapat tantangan sangat
terasa dibanding bidang lain. Oleh karena itu. pelaku bisnis selalu dituntut
memantau dan memberi pertimbangan lebih dalam menjaga reputasi dan
kredibilitasnya di depan konsumen dan khalayak masyarakat. Karena di balik
semua itu, tantangan industri perbisnisan juga pasti dihadapkan dengan berbagai
persoalan substansi terkait dengan berbagai resiko, seperti kehilangan reputasi
akibat sengketa dengan konsumen yang tidak diselesaikan dengan cara terbaik dan
up to date.
Terkait hal ini,
Suyud Margono menyatakan bahwa dengan maraknya kegiatan bisnis (termasuk
ekonomi syariah, pen), tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference)
antara pihak yang terlibat, baik antarapelaku bisnis (perusahaan) satu dengan
pelaku bisnis (perusahaan) yang lain, atau pelaku bisnis (perusahaan) dengan
konsumennya.2 Untuk menjawab persoalan mendasar ini, para pelaku bisnis dan
para pakar harus mencari model penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien
untuk menghadapi kegiatan bisnis yang free
market and free competition. Dengan kata lain, harus ada satu lembaga
1 Mengenai perkembangan ekonomi syariah, baca dalam Nur
Kholis (2006),
Penegakan Syariah Islam di Indonesia (Perspektif Ekonomi), dalam Jurnal Hukum Islam Al Mawarid, Edisi : XVI,
Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta, hal:
169-175. Adapun data lengkap tentang perkembangan ekonomi syariah dalam angka,
lihat Dadang Muljawan (2007), Islamic Financial Engineering; A
Regulatory Perspective, Slide yang disampaikan pada International
Seminar on Islamic Financial Engineering 9-10 January, Yogyakarta,
Indonesia. Atau lihat dalam http: // www.bi.go.id
2 Suyud Margono (2004), Alternative Dispute Resulotion
(ADR) dan Arbitrase,
(Bogor: Ghalia Indonesia), hal: Kata Pengantar khusus yang betul-betul
dapat diterima dunia bisnis tertentu dan memiliki sistem
penyelesaian sengketa dengan mudah, cepat dan biaya murah (quick and
lower in time and money to the parties),
serta (yang lebih penting) mampu menjaga reputasi pelaku bisnis itu.
Realitas
Lembaga Peradilan Indonesia dalam Penyelesaian
Sengketa
Cara penyelesaian konflik ( sengketa ) antar individu
masyarakat ( baca: perkara perdata) selama ini, cenderung lebih banyak
dilakukan melalui jalur konvensional, yaitu penyelesaian perkara melalui jalur
litigasi (pengadilan). Secara teoritis, lembaga peradilan diyakini dapat
menunjukkan peran terbaiknya sebagai penekan berbagai pelanggaran hukum oleh
elemen apa saja di sebuah negara, dan tempat akhir pencarian keadilan bagi
pihak yang berperkara. Walaupun dalam perjalanannya dirasakan bahwa
penyelesaian konflik melalui jalur ini kerap
menimbulkan kesan kurang baik bagi para pihak. Dikatakan demikian, karena untuk
mencapai keputusan final dari suatu lembaga pengadilan, para pihak bersengketa
memang dituntut untuk benar-benar bertarung di dewan hakim, sehingga akan
ditentukan siapa yang menjadi pemenang ‘pertandingan’. Adapun yang memiliki
kedudukan yang lebih tinggi atau dominan, umumnya (dengan berbagai faktor yang
ada) cenderung dimenangkan. Selain
itu, pengalaman pahit yang menimpa masyarakat hingga saat ini, mempertontonkan
sistem peradilan yang tidak efektif (ineffective) dan tidak efisien (inefficient).
Penyelesaian perkara memakan waktu puluhan tahun. Proses berteletele, yang
dililit lingkaran hukum yang tidak berujung. Mulai dari banding, kasasi, dan
peninjauan kembali. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, eksekusi dibenturkan
lagi dengan upaya verzet dalam bentuk partai verzet dan derden .
Memasuki gelanggang forum pengadilan, tak ubahnya verzet mengadu nasib di hutan
belantara (adventure unto the unknown). Padahal, masyarakat pencari keadilan
membutuhkan proses penyelesaian yang cepat yang tidak formalistis atau informal
porocedure and can be put into motion quickly .3 Dengan demikian, asas yang
seharusnya dilaksanakan dengan baik dan tertib (karena telah terumuskan dengan
rapi dalam aturan formal) di setiap lembaga peradilan, tentu ternodai. Terlebih
jika dikaitkan kembali dengan banyaknya konspirasi di pengadilan dan berbagai
permasalahan lainnya yang memiliki potensi lebih, mengikuti. Akibatnya, kesan
yang timbul dari lembaga peradilan tidak lagi sesuai dengan tujuan mulianya
sebagai tempat pencari keadilan dengan dasar-dasar yang telah ditentukan.4
3 M. Yahya Harahap (1997), Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan
dan Penyelesaian Sengketa,(Jakarta: Sinar Grafika), hlm.248.
4 Baca lebih lengkap dalam Sudikno Mertokusumo (1998), Hukum Acara Perdata
Ketidakmampuan ini, pada akhirnya mengakumulasi berbagai kelemahan lembaga
peradilan yang telah tersebar luas ke segala penjuru masyarakat nusantara. Saat
ini, kita sudah tidak dapat memilah pengadilan mana yang lebih parah, karena
fenomena seperti ini telah menyebar ke seluruh lingkungan pengadilan, termasuk
Pengadilan Agama. Asas-asas yang seharusnya dijalankan dengan efektif ternyata tercoreng
dengan realita yang ada. Penyelesaian sengketa berjalan lambat, biaya perkara
yang mahal, putusan pengadilan yang membingungkan, kemampuan para hakim
bercorak generalis, dan lainnya sebagainya. Akan terasa lebih miris lagi ketika
persoalan mafia peradilan diungkapkan pula secara gamblang. demikian,
lengkaplah sudah penyakit kronis lembaga peradilan yang belum juga sembuh
hingga saat ini. Proses mencari keadilan di suatu lembaga peradilan memiliki
masalah mulai dari proses awal, tengah, akhir hingga pasca berakhirnya proses
pencarian keadilan itu.maka wajarlah jika sindiran seperti :lapor
kambing,hilang sapi” begitu populer di telinga para aktivitas peradilan5 Dunia
bisnis tentu tidak akan menerima model penyelesaian sengketa macam ini karena
tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya, terlebih jika dibenturkan dengan
popularitas dan reputrasi yang sedang digenggamnya sebagaimana telah
disebutkan.
Jalur non litigasi (luar pengadilan) yang selanjutnya
disebut sebagai jalur alternatif dalam penyelesaian suatu perkara (sengketa)
tampak menjadi jawaban paling tepat dalam menyelesaikan persoalan yang ada
sebagaimana telah disebutkan. Perbedaan karakter yang dimiliki oleh lembaga
pengadilan dengan lembaga di luar pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara,
menyebabkan hasil akhir yang dicapai pula bertolak belakang. Hasil akhir
penyelesaian perkara Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), hal: 36. Yahya
Harahap menyatakan bahwa dalamkenyataan praktik berbicara, sampai saat ini
manusia di negara manapun, belum mampu menciptakan dan mendesain sistem peradilan
yang efektif dan efisien.karena ternyata,
mendesain pengadilan yang seperti itu, tidak gampang. Banyaknya aspek yang
saling bertabrakan plus beragamnya kepentingan yang harus dilindungi,
tampak menjadi faktor utamanya. Padahal di sisi lain, untuk memenuhi luaran
yang menjadi pokok keberadaan peradilan itu, menuntut sebuah sistem yang mampu
melindungi kepentingan-kepentingan para pihak, sehingga tidak boleh berat
sebelah dan tidak pula
dibenarkan bentuk konspirasi sekecil apapun. M. Yahya Harahap(1997), Hukum
Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan,(Jakarta: Sinar Grafika),hal:29 5 Wirawan, Menyelesaikan
Perdata secara Singkat, dalam http: //www.pikiranrakyat. com/cetak. Diakses
pada tanggal 10 Januari 2008. Kritik dan hujatan terhadap lembaga peradilan
hingga saat ini belum juga reda melihat realita penyelesaian perkara di
dalamnya. Namun, di tengah kritikan dan hujatan itu, tidak berarti lembaga peradilan
sudah tidak dieperlukan lagi keberadaannya, terlebih jika dibenturkan dengan kehadiran
penyelesaian sengketa jalur alternative yang pula telah berkembang. Kritikan dan
hujatan seharusnya lebih ditanggapi positif sebagai masukan bagi pihak
pengadilan. Djoko Retnadi dalam. diakses pada tanggal 10 januari 2008
(konflik) antar masyarakat melalui jalur ini dengan sebutan win win solution.6
Selain itu, metode penyelesaian perkara di luar pengadilan (non litigasi) ini
pada dasarnya juga telah mengakomodir secara sempurna berbagai tujuan sebagaimana
yang dimiliki lembaga peradilan dalam menyelesaikan perkara.7
Konteksnya dalam
bisnis islam (ekonomi syariah), terlepas dari rumusan fenomenal dengan
menyatakan sengketa perekonomian syariah menjadi harus diselesaikan di
Pengadilan Agama, penyelesaian sengketa jalur litigasi (Pengadilan Agama ) ini
dipandang juga telah tercoreng dengan berbagai kenyataan “miring” sebagaimana banyak terjadi di pengadilan
lainnya. Hal ini akan lebih meyakinkan, ketika dikaitkan dengan kesiapan para
hakim yang dipertanyakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
itu. Oleh karenanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), menanggapi dengan munculnya
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang memasukkan
ekonomi syariah sebagai salah satu kompetensi absolutnya, masih menjamin
eksistensi Basyarnas sebagai penyelesai sengketa ekonomi syariah di luar
pengadilan (non litigasi), meskipun masalah lain muncul pula mengikuti
penerbitannya.
Nama / NPM : Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas / Tahun : 2EB09 / 2010-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar