Senin, 06 Mei 2013

Tulisan 1 Absract,Pendahuluan,Realitas Lembaga Peradilan Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa



Tulisan 1           
Absract,Pendahuluan,Realitas Lembaga Peradilan Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa


Review :
Memberdayakan Peran Badan
Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Luar
Pengadilan

Vol. I, No. 2, Desember 2007

Oleh :
Sufriadi
Berisi :
Abstact

Naturally , in community will have been conflict at the time. Especially for the development of the life.Such as in money transaction (economy ) that have to need vetical development.In Indonesia, the development of syariah economy is growing up in golden era,while the condition of basyarnas ( Badan Arbitrase Syariah Nasional ) which is one medium in legal action solving of non-litigation syaria economy – is declining. Its ineffective working  is shown at the starting of syaria economy till growing up.This paper discribes the development of  syaria economy and its rationalization needs with Basyarnas as alternative in legal action solving effecttively for syaria economy practitioner.The one of solutions is a revision of Basyarna Regulations.

Keywords : Basyarnas , Penyelesaian Sengketa , Ekonomi Syariah






Pendahuluan

Kehadiran sistem perekonomian syariah Indonesia dalam kurun waktu dua
dasawarsa terakhir berkembang sangat pesat. Hal tersebut terlihat bukan hanya dalam lingkungan perbankan saja, melainkan juga tumbuh dalam berbagai bidang bisnis yang lain, seperti asuransi syariah, pegadaian syariah, pasar modal syariah, dan yang lain. Dengan penunjukkan data-data dari banyak sumber tentang perkembangan ekonomi syariah, sehingga mengukuhkan pendapat banyak kalangan, terutama akademisi dan ekonom muslim, bahwa saat ini tidak ada  Masiswa Program Dual Degree Jurusan Syariah FIAI dengan Jurusan Ilmu
Hukum FH UII. Saat ini aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Pilar Demokrasi Fakultas Ilmu Agama Islam UII; dan Ikatan Mahasiswa dan Keluarga Aceh Tenggara (IKAMARA) Yogyakarta alasan untuk menolak penerapan sistem ekonomi syariah, khususnya Indonesia.Data lain mengenai efektivitas penerapan sistem ini dalam mengentaskan permasalahan-permasalahan ketimpangan di masyarakat juga menunjukkan hasil yang tidak dapat dikatakan menyedihkan. Salah satu wacana yang saat ini kerap didengungkan bahwa perkembangan ekonomi syariah adalah pengentas berbagai persoalan sosial seperti kemiskinan dan pengangguran. Sejatinya, hal semacam ini didukung oleh semua pihak dengan ikut berpartisipasi memperbaiki implementasi sistem ekonomi syariah dapat lebih berkembang.
Seiring dengan berkembangnya sistem perekonomian syariah dan diikuti dengan munculnya banyak perusahaan bisnis yang memproklamirkan diri menggunakan sistem syariah, maka berbagai konsekuensi natural pasti akan mengekor di belakang. Karena apapun ceritanya, ekonomi syariah juga masuk dalam kategori dunia bisnis, dimana pelaku bisnis satu akan betul-betul dihadapkan dengan persaingan seketat-ketatnya dengan pebisnis lain untuk meraih konsumen dan keuntungan. Pendek kata, dunia bisnis yang merupakan
salah satu elemen yang berperan penting dalam pengembangan bangsa, selain pula menjadi dunia empuk bagi setiap orang mencapai finansial ( penghasilan )  lebih, tentu mendapat tantangan sangat terasa dibanding bidang lain. Oleh karena itu. pelaku bisnis selalu dituntut memantau dan memberi pertimbangan lebih dalam menjaga reputasi dan kredibilitasnya di depan konsumen dan khalayak masyarakat. Karena di balik semua itu, tantangan industri perbisnisan juga pasti dihadapkan dengan berbagai persoalan substansi terkait dengan berbagai resiko, seperti kehilangan reputasi akibat sengketa dengan konsumen yang tidak diselesaikan dengan cara terbaik dan up to date.
 Terkait hal ini, Suyud Margono menyatakan bahwa dengan maraknya kegiatan bisnis (termasuk ekonomi syariah, pen), tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) antara pihak yang terlibat, baik antarapelaku bisnis (perusahaan) satu dengan pelaku bisnis (perusahaan) yang lain, atau pelaku bisnis (perusahaan) dengan konsumennya.2 Untuk menjawab persoalan mendasar ini, para pelaku bisnis dan para pakar harus mencari model penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien untuk menghadapi kegiatan bisnis  yang free market and free competition. Dengan kata lain, harus ada satu lembaga
1 Mengenai perkembangan ekonomi syariah, baca dalam Nur Kholis (2006),
Penegakan Syariah Islam di Indonesia (Perspektif Ekonomi), dalam Jurnal Hukum Islam Al Mawarid, Edisi : XVI, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia,Yogyakarta, hal: 169-175. Adapun data lengkap tentang perkembangan ekonomi syariah dalam angka, lihat Dadang Muljawan (2007), Islamic Financial Engineering; A Regulatory Perspective, Slide yang disampaikan pada International Seminar on Islamic Financial Engineering 9-10 January, Yogyakarta, Indonesia. Atau lihat dalam http: // www.bi.go.id
2 Suyud Margono (2004), Alternative Dispute Resulotion (ADR) dan Arbitrase,
(Bogor: Ghalia Indonesia), hal: Kata Pengantar khusus yang betul-betul dapat diterima dunia bisnis tertentu dan memiliki sistem
penyelesaian sengketa dengan mudah, cepat dan biaya murah (quick and lower  in time and money to the parties), serta (yang lebih penting) mampu menjaga reputasi pelaku bisnis itu.





 Realitas Lembaga Peradilan Indonesia dalam Penyelesaian
Sengketa
Cara penyelesaian konflik ( sengketa ) antar individu masyarakat ( baca: perkara perdata) selama ini, cenderung lebih banyak dilakukan melalui jalur konvensional, yaitu penyelesaian perkara melalui jalur litigasi (pengadilan). Secara teoritis, lembaga peradilan diyakini dapat menunjukkan peran terbaiknya sebagai penekan berbagai pelanggaran hukum oleh elemen apa saja di sebuah negara, dan tempat akhir pencarian keadilan bagi pihak yang berperkara. Walaupun dalam perjalanannya dirasakan bahwa penyelesaian konflik melalui jalur ini  kerap menimbulkan kesan kurang baik bagi para pihak. Dikatakan demikian, karena untuk mencapai keputusan final dari suatu lembaga pengadilan, para pihak bersengketa memang dituntut untuk benar-benar bertarung di dewan hakim, sehingga akan ditentukan siapa yang menjadi pemenang ‘pertandingan’. Adapun yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi atau dominan, umumnya (dengan berbagai faktor yang ada) cenderung dimenangkan.              Selain itu, pengalaman pahit yang menimpa masyarakat hingga saat ini, mempertontonkan sistem peradilan yang tidak efektif (ineffective) dan tidak efisien (inefficient). Penyelesaian perkara memakan waktu puluhan tahun. Proses berteletele, yang dililit lingkaran hukum yang tidak berujung. Mulai dari banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, eksekusi dibenturkan lagi dengan upaya verzet dalam bentuk partai verzet dan derden . Memasuki gelanggang forum pengadilan, tak ubahnya verzet mengadu nasib di hutan belantara (adventure unto the unknown). Padahal, masyarakat pencari keadilan membutuhkan proses penyelesaian yang cepat yang tidak formalistis atau informal porocedure and can be put into motion quickly .3 Dengan demikian, asas yang seharusnya dilaksanakan dengan baik dan tertib (karena telah terumuskan dengan rapi dalam aturan formal) di setiap lembaga peradilan, tentu ternodai. Terlebih jika dikaitkan kembali dengan banyaknya konspirasi di pengadilan dan berbagai permasalahan lainnya yang memiliki potensi lebih, mengikuti. Akibatnya, kesan yang timbul dari lembaga peradilan tidak lagi sesuai dengan tujuan mulianya sebagai tempat pencari keadilan dengan dasar-dasar yang telah ditentukan.4
3 M. Yahya Harahap (1997), Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa,(Jakarta: Sinar Grafika), hlm.248.
4 Baca lebih lengkap dalam Sudikno Mertokusumo (1998), Hukum Acara Perdata
            Ketidakmampuan ini, pada akhirnya mengakumulasi berbagai kelemahan lembaga peradilan yang telah tersebar luas ke segala penjuru masyarakat nusantara. Saat ini, kita sudah tidak dapat memilah pengadilan mana yang lebih parah, karena fenomena seperti ini telah menyebar ke seluruh lingkungan pengadilan, termasuk Pengadilan Agama. Asas-asas yang seharusnya dijalankan dengan efektif ternyata tercoreng dengan realita yang ada. Penyelesaian sengketa berjalan lambat, biaya perkara yang mahal, putusan pengadilan yang membingungkan, kemampuan para hakim bercorak generalis, dan lainnya sebagainya. Akan terasa lebih miris lagi ketika persoalan mafia peradilan diungkapkan pula secara gamblang. demikian, lengkaplah sudah penyakit kronis lembaga peradilan yang belum juga sembuh hingga saat ini. Proses mencari keadilan di suatu lembaga peradilan memiliki masalah mulai dari proses awal, tengah, akhir hingga pasca berakhirnya proses pencarian keadilan itu.maka wajarlah jika sindiran seperti :lapor kambing,hilang sapi” begitu populer di telinga para aktivitas peradilan5 Dunia bisnis tentu tidak akan menerima model penyelesaian sengketa macam ini karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya, terlebih jika dibenturkan dengan popularitas dan reputrasi yang sedang digenggamnya sebagaimana telah disebutkan.
Jalur non litigasi (luar pengadilan) yang selanjutnya disebut sebagai jalur alternatif dalam penyelesaian suatu perkara (sengketa) tampak menjadi jawaban paling tepat dalam menyelesaikan persoalan yang ada sebagaimana telah disebutkan. Perbedaan karakter yang dimiliki oleh lembaga pengadilan dengan lembaga di luar pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara, menyebabkan hasil akhir yang dicapai pula bertolak belakang. Hasil akhir penyelesaian perkara Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), hal: 36. Yahya Harahap menyatakan bahwa dalamkenyataan praktik berbicara, sampai saat ini manusia di negara manapun, belum mampu menciptakan dan mendesain sistem peradilan yang efektif dan efisien.karena  ternyata, mendesain pengadilan yang seperti itu, tidak gampang. Banyaknya aspek yang saling bertabrakan plus beragamnya kepentingan yang harus dilindungi, tampak menjadi faktor utamanya. Padahal di sisi lain, untuk memenuhi luaran yang menjadi pokok keberadaan peradilan itu, menuntut sebuah sistem yang mampu melindungi kepentingan-kepentingan para pihak, sehingga tidak boleh berat sebelah dan tidak pula
dibenarkan bentuk konspirasi sekecil apapun. M. Yahya Harahap(1997), Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,(Jakarta: Sinar Grafika),hal:29 5 Wirawan, Menyelesaikan Perdata secara Singkat, dalam http: //www.pikiranrakyat. com/cetak. Diakses pada tanggal 10 Januari 2008. Kritik dan hujatan terhadap lembaga peradilan hingga saat ini belum juga reda melihat realita penyelesaian perkara di dalamnya. Namun, di tengah kritikan dan hujatan itu, tidak berarti lembaga peradilan sudah tidak dieperlukan lagi keberadaannya, terlebih jika dibenturkan dengan kehadiran penyelesaian sengketa jalur alternative yang pula telah berkembang. Kritikan dan hujatan seharusnya lebih ditanggapi positif sebagai masukan bagi pihak pengadilan. Djoko Retnadi dalam. diakses pada tanggal 10 januari 2008 (konflik) antar masyarakat melalui jalur ini dengan sebutan win win solution.6 Selain itu, metode penyelesaian perkara di luar pengadilan (non litigasi) ini pada dasarnya juga telah mengakomodir secara sempurna berbagai tujuan sebagaimana yang dimiliki lembaga peradilan dalam menyelesaikan perkara.7
 Konteksnya dalam bisnis islam (ekonomi syariah), terlepas dari rumusan fenomenal dengan menyatakan sengketa perekonomian syariah menjadi harus diselesaikan di Pengadilan Agama, penyelesaian sengketa jalur litigasi (Pengadilan Agama ) ini dipandang juga telah tercoreng dengan berbagai kenyataan “miring”  sebagaimana banyak terjadi di pengadilan lainnya. Hal ini akan lebih meyakinkan, ketika dikaitkan dengan kesiapan para hakim yang dipertanyakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah itu. Oleh karenanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), menanggapi dengan munculnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang memasukkan ekonomi syariah sebagai salah satu kompetensi absolutnya, masih menjamin eksistensi Basyarnas sebagai penyelesai sengketa ekonomi syariah di luar pengadilan (non litigasi), meskipun masalah lain muncul pula mengikuti penerbitannya.


 

Nama / NPM   : Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas / Tahun  : 2EB09 / 2010-2011

Tulisan 2 Pengertian Arbitrase , dan Dasar Hukum Arbitrase Syariah

Tulisan 2 Pengertian Arbitrase , dan Dasar Hukum Arbitrase Syariah




Review :
Memberdayakan Peran Badan
Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di Luar
Pengadilan

Vol. I, No. 2, Desember 2007

Oleh :
Sufriadi
Berisi :
Pengertian Arbitrase

Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim sendiri adalah bahasa arab yang merupakan mashdar dari kata kerja hakkama. Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya.8 Secara terminologi, tahkim dapat diartikan dengan bersandarnya dua orang yang bertikai (bersengketa) kepada seseorang yang mereka
ridhoi keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka (para pihak).9
Selain kata arbitrase Islam yang dipadanankan dengan istilah tahkim, istilah Selain kata arbitrase Islam yang dipadanankan dengan istilah tahkim, istilah yang menggambarkannya sebagai jalur penyelesaian sengketa perspektif Islam, Islam juga memperkenalkan lembaga penyelesaian sengketa para pihak yang disebut juga ash shulhu. Beberapa kata dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan
kata yang berakar pada kata sholuha ini antara lain; ashlaha, shillaha, tasholaha, as 6 Win win solution adalah lawan dari win lose solution yang merupakan hasil akhir dari penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi. Lebih lengkap baca dalam Suyud Margono, op.cit, hal: 23-28 7 Terdapat banyak hal yang menjadi kelebihan dari penyelesaian perkara melalui jalur non litigasi. Diantaranya, lebih menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, menyelesaikan sengketa, menjaga ketertiban umum, dan membawa nilai-nilai
masyarakat yang terkandung dalam hokum untuk menyelesaikan sengketa. Lihat dalam Suyod Margono, ibid, hal: 24 8 Suhrawardi K. Lubis (2000), Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika),  hal: 186 9 M. Abdul Fatah dalam Suhrawardi K. Lubis, Ibid sulhu, as sholahiyah, as sholihu, ishlahun, ishlahiyah, mushlihun, dan mashlahah.
Sholuha adalah bagus, baik (kebalikan dari buruk), ashlaha berarti memperbaiki, shollaha diartikan membereskan, shoolaha berarti berdamai dengan, tasholaha berarti berdamai atau saling berdamai, as sulhu berarti perdamaian, as sholahiyah berarti kepantasan, as sholihu berarti yang bagus, baik, ishlahun berarti perbaikan, koreksi, ishlahiyah berarti yang bermaksud, yang bersifat memperbaiki, mushlihun berarti pembaharu dari yang buruk atau juru damai, dan mashlahah dimaknai
faidah, kepentingan, kemanfaatan dan kemaslahatan. As sulhu disejajarkan dengan as silmu, ishlah disejajarkan dengan diddul ifsad (lawan dari perusakan). ishlahun, silmun, dan sulhun dapat disejajarkan dengan makna satu yaitu perdamaian atau perbaikan.10Dalam Al Mufid juga disebut bahwa  as sulhu dan as silmu dapat disejajarkan dalam pengertian perdamaian.11
 Lebih lanjut, kata itu diartikan dengan: berusaha menciptakan perdamaian; membawa keharmonisan; menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan yang lainnya; melakukan perbuatan baik; berperilaku sebagai orang suci (baik). Dikatakan, bahwa pengertian yang beragam itu berasal dari makna kata ini yang disebut dalam Al Qur’an. Adapun dalam bahasa Arab modern, istilah ini digunakan untuk pengertian pembaharuan.12 Sementara dalam pengertian syariat, ash shulhu berarti suatu akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan
(sengketa) antara dua orang yang terlibat dalam sengketa.13 Sementara itu, dalam hukum positif, kajian-kajian tentang arbitrase umumnya dirujuk pada pendapat-pendapat para pakar hukum barat, dan jarang mengemukakan pemikiran pakar dari kalangan muslim secara proporsional. Padahal, dalam penyelesaian sengketa di masyarakat, Islam memiliki konsep yang jelas dan perbedaan subtantif dengan dasar yang berbeda, terutama dalam hal filosofinya.Lebih lanjut,konsep islam tampak tidak kalah realistis untuk  diterapkan di masyarakat modern dibanding dengan konsep yang banyak muncul dari barat.
Kata arbitrase sendiri berasal dari bahasa arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), arbitrage (Prancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh atbiter atau wasit.14 Hal ini senada dengan apa yang disampaikan 10 Adib Bisri dan Munawwir A Fatah (1999), Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia, (Surabaya: Pustka Progresif ), hal: 414-415
11Al Mufid Kamus Arab Indonesia, Indoensia Arab, tt. CD
12 Abdul Azis Dahlan, et.al, (2001), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru can Hoeve), hal: 740
13 Abdul Qodir Audah (2000),At Tatsyri’ al jinai al Islam Muqoeonan bil Qonunil
Wad’i, Juz Pertama, (Beirut: Muassash ar Risalah), hal: 773. Mengenai penyerapannya ke dalam bahasa Indonesia, lihat Abdul Azis Dahlan, et.al, (2001), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru can Hoeve), hal: 740
14 Rahmadi Usman (2003), Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, M. Husein dan A. Supriyani.15 Dikaitkannya istilah arbitrase dengan dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa majelis hakim arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkannya kepaa kebijaksanaan. Padangan tersebut keliru, karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.16 Atas dasar inilah, dalam beberapa literatur istilah arbitrase popular juga dengan istilah pengadilan swasta (karena keberadaannya adalah sendiri dan mandiri tanpa campur tangan institusi formal kenegaraan), pengadian pengusaha (karena pihak yang bersengketa di dalamnya banyak yang berlatarbelakang
 pengusaha), perwasitan (dalam kontek arbiternya), dan lain sebagainya.
            Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.17 Di sini, wasit digunakan sebagai pihak ketiga yang netral dalam memutus perselisihan yang diajukan para pihak kepada arbiter.18 Sementara itu, pengertian arbitrase yang lebih rinci dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad. Ia mengatakan bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal dengan khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan Negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perusahaan.19
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.20 Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa yang dapat dibawa pada arbitrase adalah sengketa yang bersifat keperdataan. Para pihak
telah menyepakati secara tertulis bahwa mereka, jika terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah mereka buat, akan memilih penyelesaian sengketa melalui (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal: 107
15 M. Husein dan A. Supriyani dalam Joni Emirzon (2001), Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsilisasi dan Arbitrase), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal: 96
16 Subekti (1981), Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Penerbit Binacipta), hal: 1-3
 17 Sudikno Mertokusumo (1999), Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty), hal: 144
 18 Gatot Soemargono, (2006), Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal: 25
19 Abdulkadir Muhammad (1993), Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal: 276
20 Lihat pada pasal 1 butir 1 arbitrase dan tidak berperkara di depan peradilan umum. Dengan demikian, yang
dilakukan adalah untuk memutuskan pilihan forum, yaitu yurisdiksi di mana
suatu sengketa akan diperiksa, dan bukan pilihan hukum.21




Dasar Hukum Arbitrase Syariah
Penyelesaian perkara melalui musyawarah dengan artian bertemunya antara pihak yPenyelesaian perkara melalui musyawarah dengan artian bertemunya antara pihak yang bersengketa dalam satu majelis, pada dasarnya adalah jalur terbaik. Keuntungan yang didapatkan kedua pihak yang bersengketa (setidaknya) adalah
penemuan solusi atau jalan keluar yang sama-sama disepakati. Hal ini sangat efektif meredam segala amarah yang ada dalam benak para pihak (terutama yang kalah) paska ditemukannya suatu solusi. Hal tersebut akan lebih sempurna jika jalur penyelesaian sengketa ini dikontekskan dengan fenomena yang terjadi di dunia modern. Banyaknya tuntutan terhadap seseorang, menjadikan keberadaan
jalur penyelesaian semacam arbitrase (seharusnya) tumbuh subur.
Di Indonesia, terbentuknya lembaga arbitrase islam (Basyarnas) memiliki landasan hukum yang kuat, baik dari tinjauan hukum positif, terlebih dari hukum islam. Dalam Islam, penggambaran terhadap penyelesaian setiap sengketa yang terjadi di masyarakat, justru harus didahulukan. Sumber hukum yang mendasari keharusan menempuh jalur ini serta mengisyaratkan adanya suatu lembaga khusus menangani jalur ini, terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ Ulama.
Beberapa dasar itu adalah sebagai berikut.
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat” ( QS.al Hujurat:9-10 )
“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya
(suami-isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki
dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Dan jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya
Allah akan memberikan petunjuk kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” ( QS.An Nisa’:35 )

Selain Al Qur’an, As Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua, juga
memberikan penjelasan bagaimana suatu persengketaan harus segera didamaikan.

Diantaranya adalah sebagai berikut:
Dari Abi Hurairoh ra, mengabarkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari seseorang. Orang yang
membeli pekarangan tersebut menemukan sebuah guci yang berisikan
emas.Si pembeli berkata.’ambillah emas yang ada pada saya,aku hanya membeli tanahnya saja daripadamu”.Jawab penjual tanah, “aku telah menjual kepadamu tanah dan barang-barang yang terdapat di dalamnya”.  Kedua orang itu lalu bertahkim ( mengangkat arbitrator kepada seseorang.Arbitrator berkata,”apakah kamu berdua mempunyai anak?.Salah seorang yang bersengketa menjawab,”ya.Saya mempunyai seorang anak laki-laki’.Dan yang laki menjawab,”saya mempunyai seorang anak perempuan”.Lalu arbitrator berkata,kawinkanlah anak
laki-laki itu dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua mempelai
dengan emas itu”.Dan kedua orang tersebut menyedekahkan ( sisanya kepada fakir miskin )”.( HR.Bukhari Muslim)

Adapun ijma’ ulama sebagai sumber hukum Islam ketiga juga telah memperkuat keberadaan lembaga arbitrase untuk mengantisipasi persengketaan dalam berbagai aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase setelah Rasulullah wafat, banyak dilakukan pada masa sahabat dan ulama setelahnya. Penyelesaian sengketa dengan cara mendamaikan para pihak melalui musyawarah
dan kesepakatan bersama, sempat menjadi yurisprudensi hukum Islam dalam beberapa kasus. Keberadaan ijma’ sahabat atau ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya. Dalam hal ini, Umar bin Khottob pernah mengatakan,tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai,karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka”.
Dalam konteks keindonesiaan, perkara ijma’ ulama ini banyak diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pembentukan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah salah satu yang dapat dikatakan masuk dalam kategori ijma’ ulama. Walaupun BAMUI dibentuk dan disetujui hanya oleh sebagian Ulama atau cendikiawan muslim, secara yuridis formal dan dari segi hukum Islam mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terlebih, keberadaan lembaga semacam ini memang telah menjadi sebuah tuntutan seiring berkembangnya
perekonomian dengan sistem syariah di Indonesia.23
Jika diamati lebih lanjut, ketiga sumber hukum Islam ini, dalam hal
penyelesaian sengketa jalur alternatif ash shulhu (ishlah) atau tahkim, sesungguhnya mengisyaratkan tidak terbatas hanya pada persoalan bisnis (ekonomi) atau keperdataan lainnya, melainkan juga dapat dipraktekkan dalam penyelesaian kasus di bidang perang, politik, pidana, dan lain sebagainya. Bahkan penyelesaian ini (harus) lebih diutamakan. Asumsi yang berkembang di benak masyarakat
secara umum, bahwa penyelesaian sengketa melalui badan peradilan dipastikan bersifat antagonistis dan selalu menimbulkan kedengkian di antara umat Islam. Kedengkian itu muncul akibat dari keterpaksaan menerima putusan dari pihak pengadilan, baik memenuhi rasa keadilan atau tidak.
Selanjutnya, keberadaan Basyarnas secara yuridis formal mempunyai legitimasi yang kuat di Indonesia. Terdapat dasar hukum yang memungkinkan lembaga lain di luar lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan pada badan peradilan yang (saat itu) berpedoman pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman. Meskipun dalam Pasal 3 ayat (2) UU tersebut dinyatakan bahwa hanya
badan peradilan negara yang menetapkan dan menegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi, dalam penjelasan pasal itu membolehkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada kalimat berikutnya, penjelasan Pasal 3 menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. Hanyasaja, putusan arbitrase akan mempunyai
kekuatan eksekutorial (executoir) setelah didaftarkan di lembaga peradilan.24
Ketentuan Arbitrase sebagaimana dalam pasal 615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatblaad 1847: 52), Pasal 377 Reglement Indonesia yang Diperbaharui ( Het Herziene Indonesich Reglement Staadblad 1941: 44), dan Reglement Acara untuk Daerah Luar Jawa
dan Madura (Reglement Buitengsewesten, staatsblad 1927: 227), dinyatakan sudah tidak berlaku sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.25 Undang-Undang ini adalah aturan pokok bagi setiap lembaga arbitrase di indonesia, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sendiri.
Dengan demikian, aturan paling tepat yang mendasari pembentukan dan operasional Basyarnas adalah penjelasan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Arbitrase dan APS. Khusus yang terakhir, belakangan menimbulkan perdebatan setelah UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama diterbitkan. Terdapat pakar yang mengemukakan pendapatnya dengan kesan mencukupkan aturan
yang dipakai Basyarnas sebatas aturan ini saja.26 Namun, di pihak lain menentang aturan yang tidak spesifik mengatur tentang Basyarnas,terutama mengenal operasional dan langkah lebih lanjut setelah klausa arbitrase dihasilkan, sehingga cenderung mendesak agar pengaturan spesifik mengenai Basyarnas secepatnya
diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang. Alasannya, antara Basyarnas yang  menerapkan konsepsi syariah dalam menyelesaikan urusan yang berbasis syariah berbeda secara filosofis dengan aturan yang ada dalam Undang-Undang Arbitrase dan ADR yang tidak mengakomodir nilai filosofis tersebut secara sempurna.



Nama / NPM   : Sarina Nurcahaya/ 28211249
Kelas / Tahun  : 2EB09 / 2010-2011